RUU KUHAP Disahkan: Reformasi atau Ancaman?

 



NR. Nuha



#CatatanRedaksi — Pengesahan RUU KUHAP oleh DPR pada 18 November 2025, sebagaimana diberitakan NewsRoom Indonesia (18/11/2025), menempatkan Indonesia pada persimpangan penting: antara memperkuat sistem peradilan atau membuka pintu pada perluasan kontrol negara yang sulit diawasi. Reformasi hukum acara memang mendesak, tetapi kecepatan pembahasan dan minimnya penjelasan publik justru menimbulkan pertanyaan apakah revisi ini benar-benar dirancang untuk melindungi warga negara atau sekadar memperluas kewenangan aparat di lapangan.



Pemerintah menyebut revisi ini sebagai penguatan hak tersangka, perluasan praperadilan, dan dorongan pada keadilan restoratif. Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menyampaikan itu dalam laporan NewsRoom Indonesia (18/11/2025). Ketua Komisi III DPR Habiburokhman bahkan mengklaim—dikutip Media Indonesia (19/11/2025)—bahwa hampir seluruh isi RUU berasal dari aspirasi publik. Namun, argumentasi normatif tersebut belum menunjukkan secara jelas bagaimana perbaikan itu akan bekerja di lapangan, dan apakah mekanisme pengawasannya sudah disiapkan. Tanpa penjelasan teknis, klaim reformasi mudah terdengar optimistis tetapi rapuh.



Sebaliknya, kritik dari masyarakat sipil memberi gambaran lebih konkret. Dalam rilis Maret 2025, LBH Masyarakat menilai sejumlah pasal, seperti penyadapan dan penggeledahan, membuka ruang tindakan paksa tanpa kontrol peradilan yang memadai. Kekhawatiran utama adalah potensi penyadapan “lebih longgar”—yang dapat membuat negara memiliki akses terlalu jauh ke ruang privat warga. ICJR, melalui siaran pers 16 November 2025, mengkritik pembahasan yang hanya berlangsung dua hari dan menyebutnya sebagai bukti lemahnya partisipasi bermakna. Kritik ini menunjukkan bahwa revisi KUHAP bukan sekadar soal bunyi pasal, tetapi soal arah kekuasaan negara yang tidak boleh dilebarkan tanpa rem.



Di sisi lain, respon pejabat terhadap kritik memperlihatkan kegagalan komunikasi kebijakan. NU Online (20/11/2025) melaporkan bahwa Ketua Komisi III DPR sempat menuding poster kritik yang beredar di media sosial (jdih.dpr.go.id) sebagai hoaks, sebelum akhirnya meralat bahwa informasi tersebut sekadar “tidak pas.” Koalisi masyarakat sipil menolak anggapan itu dan menegaskan bahwa kritik mereka berdasarkan draf resmi. Ketimpangan informasi semacam ini menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang sendiri tidak sepenuhnya siap menjelaskan perubahan yang mereka buat—sebuah sinyal bahwa proses perumusan aturan berjalan kurang transparan.



Persoalan transparansi makin jelas dalam laporan Kompas (02/7/2025), ketika pakar ICJR Maria Maidina Rahmawati menyatakan bahwa draf RKUHAP terbaru justru melemahkan mekanisme kontrol peradilan yang semestinya menjadi benteng utama perlindungan hak. Tanpa pengawasan pengadilan yang kuat, kewenangan aparat yang diperluas bisa berbalik menjadi ancaman. Ketidakjelasan alasan pemerintah dalam mengubah sejumlah pasal sensitif memperkuat kesan bahwa publik hanya diberi informasi seadanya, bukan gambaran menyeluruh.



Kekhawatiran berlanjut pada tahap implementasi. Dalam laporan Suara.com (22/11/2025), YLBHI menilai bahwa KUHAP baru membutuhkan banyak aturan turunan agar tidak menimbulkan kerancuan. Tanpa pedoman teknis yang jelas, aparat dapat menginterpretasikan kewenangan baru secara berbeda-beda, menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka peluang kesewenang-wenangan. Amnesty International Indonesia (November 2025) memperkuat analisis ini dengan menegaskan bahwa revisi KUHAP belum menyelesaikan akar masalah penyalahgunaan wewenang dalam proses penangkapan dan penyidikan.



Dalam konteks ini, jelas bahwa setiap upaya merevisi KUHAP hanya dapat dianggap sebagai kemajuan apabila dibangun di atas sistem kontrol peradilan yang solid, sebab pengawasan peradilan menjadi satu-satunya cara memastikan kewenangan aparat tidak berjalan tanpa batas. Ditambah perlu adanya transparansi yang konsisten dan kesiapan regulasi turunan yang matang. Tanpa itu, reformasi hanyalah perubahan kosmetik yang menyisakan risiko besar bagi perlindungan hak rakyat. Negara harus menjelaskan logika perubahan, menyiapkan panduan implementasi, dan membuka ruang bagi pengawasan masyarakat. Ketiadaan prasyarat tersebut bukan sekadar kelemahan administratif, melainkan ancaman struktural bagi keseimbangan relasi negara–warga.



Pada akhirnya, pertanyaan utamanya bukan apakah KUHAP baru membawa perubahan, melainkan: perubahan ke arah mana? Reformasi hukum acara harus memperbesar rasa aman warga negara dari potensi tindakan sewenang-wenang, bukan memberikan perangkat tambahan kepada aparat tanpa pengawasan yang memadai. Tanpa komitmen pada prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan perlindungan hak asasi, negara mudah tergelincir pada praktik pengawasan berlebihan. Sejarah secara konsisten memperlihatkan bahwa rezim berhaluan kapitalisme populis—(rakyat vs. elite) —mempertahankan kekuasaannya melalui pola penindasan dan pengintaian terhadap rakyat, karena mekanisme tersebut menjadi alat untuk mengontrol kritik dan menjaga stabilitas kekuasaan mereka.[]



Posting Komentar

0 Komentar