NR. Nuha
#CatatanRedaksi — Sudan hari ini bukan sekadar negara yang hancur oleh perang saudara; lebih dari itu, kini adalah papan catur geopolitik tempat kekuatan regional dan global memainkan bidak mereka. Dua tahun sejak konflik meletus antara Sudanese Armed Forces (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF) pada 15 April 2023, negeri itu berubah menjadi simbol bagaimana perebutan kepentingan dapat melumpuhkan kedaulatan.
Menurut laporan The Guardian (15/04/2025), lebih dari 13 juta warga Sudan kini mengungsi dan jutaan lainnya hidup dalam kelaparan—menjadikan krisis ini sebagai “the world’s largest humanitarian crisis.” Namun di balik derita rakyat, tersimpan dimensi politik yang lebih dalam: perang ini bukan hanya tentang siapa menguasai Khartoum, tetapi siapa mengendalikan masa depan Sudan.
Akar persoalan Sudan tidak bisa dilepaskan dari pertarungan ideologi yang telah berlangsung lama. Sekularisme dan kapitalisme yang diadopsi sebagian elite politik telah memisahkan agama dari kekuasaan, melahirkan sistem tanpa arah hidup hakiki. Politik kehilangan ruh keadilan, sementara ekonomi dibajak oligarki. Nasionalisme sempit memperkuat perpecahan etnis dan melemahkan kesatuan umat.
Dalam laporan The Guardian (07/08/2025), sedikitnya 1.500 warga sipil tewas dalam tiga hari akibat serangan RSF di kamp pengungsi Zamzam, Darfur. Kekejaman itu mencerminkan kehancuran struktur politik yang tak lagi berpihak pada rakyat.
Namun, akar kekacauan itu bukan hanya domestik. The Guardian (06/05/2025) mengungkap bahwa pemerintah Sudan memutuskan hubungan diplomatik dengan Uni Emirat Arab (UEA) setelah menuduh negara Teluk itu memasok senjata dan logistik kepada RSF. Tuduhan ini diperkuat oleh laporan AP News (04/05/2025) yang menyebutkan bahwa UEA bahkan diduga merekrut tentara bayaran asal Kolombia untuk memperkuat pasukan RSF.
Kepentingan ekonomi menjadi motif yang sulit disangkal. Sudan memiliki cadangan emas besar, dan menurut Time Magazine (18/07/2024), emas Sudan yang diperdagangkan melalui Dubai menjadi salah satu sumber pendanaan utama perang saudara. Dengan demikian, UEA tidak sekadar terlibat secara politis, tetapi juga ekonomis—menjadikan konflik ini bagian dari strategi investasi dan pengaruh di Afrika Timur.
Di sisi lain, Mesir secara terbuka mendukung SAF, seperti dilaporkan Global South Live (30/01/2025), karena menganggap stabilitas Sudan vital bagi keamanan Sungai Nil dan wilayah selatan Mesir. Posisi ini bertentangan langsung dengan UEA, sekutu dekatnya dalam banyak isu regional, sehingga menambah lapisan kompleks dalam konflik Sudan.
Reuters (12/09/2025) melaporkan bahwa Amerika Serikat, Arab Saudi, UEA, dan Mesir membentuk kelompok QUAD yang menawarkan “roadmap for peace” bagi Sudan. Namun, upaya diplomatik itu dinilai banyak pihak tidak netral, sebab masing-masing anggota QUAD memiliki kepentingan strategis sendiri di kawasan Laut Merah dan jalur perdagangan Afrika Timur.
Realitasnya, Sudan telah berubah menjadi ajang proxy war. Negara-negara besar menjadikan konflik ini instrumen untuk memperluas pengaruh. Le Monde (15/04/2025) menulis bahwa Sudan adalah “korban dari kerakusan kekuatan asing yang berlomba merebut sumber daya di tanah Afrika.”
Dalam ruang digital, suara rakyat menegaskan kesadaran itu. Seorang pengguna Reddit menulis, “A big part of Sudan’s collapse was caused by racism, moral decay, and obsession with power." (10/09/2024). “It sickens me that western social media only talks about Sudan’s racial identity, not the genocide.” (12/09/2024)—Dua suara ini menyingkap rasa frustrasi rakyat Sudan terhadap elite yang berkhianat dan dunia internasional yang hipokrit.
Tragedi Sudan adalah pelajaran pahit bagi dunia Islam. Ketika politik terlepas dari nilai hidup hakiki—akidah dan syariat, kekuasaan menjadi alat penjajahan baru. Ketika agama disingkirkan dari pemerintahan, kekuatan asing akan mengisi kekosongan nilai itu dengan uang, senjata, dan propaganda.
Sudan bukan sekadar krisis kemanusiaan—ia adalah peringatan bahwa tanpa kedaulatan dan ideologi, umat akan mudah dijajah kembali, bahkan tanpa disadari. Dan jika dunia Islam terus berjalan tanpa arah sebagaimana dulu mereka bersatu dalam ikatan Islam, maka yang tersisa hanyalah reruntuhan peradaban.
Rasulullah ﷺ telah mengabarkan masa ketika umat Islam menjadi seperti buih di lautan—banyak tetapi tak berdaya, terombang-ambing oleh arus kekuasaan dunia. (Hadis Riwayat Abu Dawud no. 4297)
Hari ini, nubuwah itu terasa nyata di Sudan: negeri yang kaya iman dan sumber daya, terkoyak oleh cinta dunia, takut kehilangan kekuasaan, dan tunduk pada sistem yang bukan miliknya. Dari reruntuhan Khartoum hingga sunyi pengungsian Darfur, kita menyaksikan wajah umat yang kehilangan perisai nilai dan keadilan. Inilah potret dunia Islam yang terkoyak tanpa perisai peradabannya.[]

0 Komentar