Nurjanah Triani
#Wacana — Tepuk sakinah baru-baru ini menjadi sebuah tren di kalangan pemuda. Yel-yel yang digaungkan oleh KUA ini mendapat perhatian banyak pihak. Bukan tanpa sebab, isi yel-yel tersebut bermula dari meningkatnya jumlah perceraian di Indonesia. Permasalahan dan problematika yang memenuhi hiruk pikuk pemberitaan terkait pernikahan menambah daftar panjang PR yang harus dibenahi dalam memandang suatu ikatan pernikahan.
Pemberitaan yang tak henti terkait perceraian ini meroket tajam di kalangan jagad maya. Berbagai penyebab pun naik ke permukaan. Perselingkuhan, KDRT, ekonomi, dan banyak penyebab lainnya.
Di tengah zaman yang makin canggih tak diimbangi dengan peningkatan kesadaran dan perekonomian, ini juga menjadi salah satu penyebab sumber retaknya sebuah mahligai rumah tangga. Teknologi yang berkembang tak diimbangi dengan penjagaan moral, kesadaran, dan iman dalam diri. Hal ini menyebabkan banyaknya kerusakan seperti membandingkan dan menjadikan pernikahan orang lain sebagai standar hingga hilangnya rasa syukur, mata yang tak lagi bisa terjaga dari pandangan yang diharamkan, hingga mudahnya akses perzinahan yang tak kunjung diblokir dan ditata oleh negara.
Perekonomian juga dinilai sebagai salah satu penyebab perceraian yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan banyak hal seperti kebutuhan yang melonjak tajam jauh dari penghasilan, banyaknya PHK massal, lowongan pekerjaan yang sulit untuk laki-laki, hingga mayoritas lowongan pekerjaan tersedia hanya untuk perempuan. Laki-laki yang berkewajiban memberi nafkah kini kehilangan wibawa dan qowwam-nya sebab lebih mudah wanita yang mencari pekerjaan. Sehingga, hal ini juga menyebabkan wanita merasa tak membutuhkan pemberi nafkah sebab ia dapat mencarinya sendiri.
Hilangnya Penjaga Institusi Keluarga
Problematika terkait perceraian ini sangatlah kompleks. Tak hanya perihal kesiapan dan kematangan emosional, tetapi juga perihal keadaan yang sulit dihadapi di masa sekarang. Pihak KUA hanya mampu menggemborkan tepuk sakinah untuk mengingatkan pasutri untuk mengingat janji pernikahan. Namun, lebih dari itu, seharusnya peran negara hadir memberikan penjagaan dan perlindungan terkait keutuhan rumah tangga.
Di sistem kapitalisme, penjagaan keutuhan rumah tangga bukan menjadi hal yang penting. Sebab sistem ini hanya mementingkan keuntungan material saja. Sementara urusan pribadi selayaknya pernikahan tak mendapat perhatian lebih.
Islam Menjaga Mahligai Rumah Tangga
Dalam Islam, keutuhan sebuah rumah tangga dampaknya sangat besar bagi keberlangsungan dan kemajuan suatu negara. Benar, bukan hanya memberi dampak untuk pribadi masing-masing, melainkan juga keutuhan rumah tangga berdampak luas untuk sebuah negara. Berangkat dari keadaan rumah yang sakinah, maka akan lahir para pemimpin keluarga yang keluar rumah tidak hanya fokus pada keuangan tapi juga memikirkan perubahan untuk sekitar, sebab hati dan pikiran yang tenang mempengaruhi daya juang seseorang. Berangkat dari rumah yang tenang, akan lahir para ibu dengan kondisi mental yang stabil dan siap menjadi madrasah pertama untuk anaknya, mendidik generasi dengan penuh cinta dan takwa. Serta lahir pula dari rumah yang penuh iman dan takwa, para penerus generasi bangsa yang siap secara fisik dan psikis yang stabil untuk menaklukkan dunia. Hati dan jiwanya tercukupi oleh cinta dan takwa, pikirannya tercukupi oleh ilmu yang gempita.
Islam memberikan penjagaan utuh untuk keluarga, memberikan pembinaan mendalam untuk para pemuda dari usia remaja hingga dewasa untuk memahami hakikat hidup dan ibadah di dunia. Akan diterapkan pemikiran bahwa pernikahan adalah jalan ibadah, perlu ilmu untuk menanganinya, perlu iman untuk menguatkannya. Tak hanya itu, Islam hadir memberikan keadaan terbaik untuk keluarga. Segala aspek yang memungkinkan mengotori dan merusak iman, maka akan dibasmi seketika. Keadaan perekonomian juga memihak keluarga sebagaimana peran dan fitrah manusia. Negara akan membantu para kepala rumah tangga untuk dapat bekerja agar mampu menafkahi keluarganya.[]
.png)
0 Komentar