NR. Nuha
#CatatanRedaksi — Bagi banyak individu, pendidikan tinggi adalah harapan. Gelar magister atau doktor kerap dipandang sebagai jalan menuju kehidupan yang lebih baik, stabil, dan bermakna. Tidak sedikit orang tua mengorbankan harta, waktu, dan tenaga demi memastikan anak-anak mereka menempuh pendidikan setinggi mungkin. Namun, realitas ketenagakerjaan Indonesia pada tahun 2025 menunjukkan bahwa harapan tersebut tidak selalu berujung pada kepastian.
Laporan Labor Market Brief yang dirilis Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) pada November 2025 mencatat bahwa lebih dari 6.000 lulusan S2 dan S3 memilih berhenti mencari pekerjaan. Mereka termasuk dalam kelompok discouraged workers, yaitu angkatan kerja yang menyerah karena merasa peluang kerja yang tersedia tidak sesuai dengan kualifikasi dan harapan. Temuan ini diberitakan oleh Jawa Pos pada Desember 2025, yang menyoroti rendahnya prospek kerja serta ketidaksesuaian upah sebagai faktor utama.
Fenomena ini menunjukkan realitas bahwa gelar akademik yang tinggi tidak selalu sejalan dengan kesempatan berkontribusi di masyarakat. Banyak lulusan memiliki pengetahuan dan kemampuan, tetapi tidak menemukan ruang yang tepat untuk mengamalkan ilmunya. Dari sudut pandang Islam, kondisi ini patut menjadi bahan renungan, karena ilmu pada hakikatnya adalah amanah yang seharusnya membawa manfaat bagi sesama, bukan sekadar pencapaian pribadi.
Sejumlah laporan media menegaskan adanya jarak antara pendidikan tinggi dan dunia kerja. SINDOnews pada Desember 2025, yang mengutip kajian LPEM FEB UI, menyebutkan bahwa keterkaitan antara pendidikan tinggi dan kebutuhan lapangan kerja makin melemah. Banyak lulusan dinilai kurang relevan dengan kebutuhan praktis, meskipun memiliki kemampuan akademik yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan tidak hanya terletak pada individu, tetapi juga pada arah kebijakan pendidikan dan ketenagakerjaan. Kondisi ini merupakan sinyal kuat bahwa reformasi pendidikan tinggi dan kebijakan praktis tidak lagi bisa ditunda.
Faktor ekonomi turut memperkuat persoalan ini. Jawa Pos pada Desember 2025 melaporkan bahwa sebagian lulusan pascasarjana berhenti mencari kerja karena upah yang ditawarkan tidak sebanding dengan biaya dan pengorbanan selama menempuh pendidikan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa nilai ilmu sering kali diukur dari aspek ekonomi semata, sementara nilai sosial dan kemanfaatannya bagi masyarakat kurang mendapatkan perhatian.
Sementara itu, laporan iNews.id pada Desember 2025 menyoroti kecenderungan dunia kerja yang lebih menghargai pengalaman praktis dibandingkan latar belakang akademik. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi kerap berada dalam posisi sulit. Mereka memiliki bekal keilmuan, tetapi belum sepenuhnya difasilitasi negara untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata dan pelayanan masyarakat.
Data nasional menunjukkan bahwa persoalan ini merupakan bagian dari tantangan yang lebih luas. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rilis Februari 2025 mencatat jumlah pengangguran di Indonesia masih sekitar 7 juta orang, dengan sebagian lainnya berada dalam kondisi setengah menganggur. Laporan yang dikutip Kumparan pada Desember 2025 juga menyebutkan jumlah discouraged workers mencapai sekitar 1,8 juta orang, menandakan banyaknya warga yang kehilangan harapan memperoleh pekerjaan layak.
Keresahan ini juga tampak di ruang digital. Diskusi warganet di forum r/indonesia sepanjang tahun 2025 memperlihatkan keprihatinan terhadap sulitnya mencari kerja, termasuk bagi lulusan berpendidikan tinggi. Ungkapan seperti “siap kerja kalau ada kerja” mencerminkan perasaan kehilangan arah yang dirasakan sebagian masyarakat.
Dalam perspektif Islam, orang berilmu memiliki peran penting dalam kehidupan umat. Mereka diharapkan dapat berkontribusi dalam pendidikan, pelayanan sosial, penguatan nilai keagamaan, dan pembangunan masyarakat sesuai keahlian masing-masing. Karena itu, negara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kebijakan yang memungkinkan ilmu dapat diamalkan secara nyata, bukan hanya dinilai dari serapan pasar kerja.
Fakta ribuan lulusan pascasarjana yang berhenti mencari kerja pada tahun 2025 seharusnya menjadi bahan evaluasi kebijakan. Pendidikan tinggi perlu kembali diarahkan pada tujuan dasarnya, yakni menyiapkan manusia berilmu yang mampu memberi manfaat bagi masyarakat. Dengan kebijakan yang lebih terintegrasi dan berpihak pada kemaslahatan, ilmu tidak akan kehilangan arah, tetapi hadir sebagai kekuatan untuk memperbaiki kehidupan sosial dan memperkuat nilai-nilai yang menopang peradaban manusia. Tanpa perubahan arah kebijakan, pendidikan tinggi berisiko terus melahirkan individu berilmu yang kehilangan ruang pengabdian di tengah masyarakat. Wallahualam.[]

0 Komentar