Annisa Suciningtyas
#Wacana — Tren Sephora Kids, sebuah tren yang kini sedang viral di TikTok maupun Instagram. Istilah ini muncul ketika beberapa anak dan pra-remaja meniru rutinitas kecantikan orang dewasa di media sosial. Mereka beramai-ramai rutin membeli produk skincare, masker wajah, hingga make up. Tren ini berawal dari masifnya konten di Tiktok dan Instagram seperti konten "get ready with me", "haul skincare", hingga influencer pra-remaja yang merias wajah mereka dengan produk dewasa. Sehingga banyak anak dan remaja ikut mencoba produk-produk kecantikan dewasa tersebut.
Masifnya konten ini membuat beberapa brand ikut meramaikan dan meluncurkan produk-produk kecantikan yang memang target pasarnya dikhususkan untuk anak dan pra-remaja. Produk-produk tersebut dikemas dengan berbagai warna yang menarik dan mengklaim “ramah anak”.
Melansir dari CNA, Minggu, 30 November 2025, para dokter kulit serta para peneliti kesehatan kulit memberi peringatan bahwa kulit anak-anak tidak memerlukan kosmetik tambahan selain produk kebersihan dasar, karena dikhawatirkan merusak skin barrier. Namun, hal tersebut tidak menghentikan munculnya perusahaan baru yang memanfaatkan obsesi generasi Alpha (anak-anak yang lahir antara tahun 2010–2024) pada rutinitas perawatan kulit dan make up ala remaja.
Para ahli dermatologi menyuarakan keresahan terkait tren TikTok tersebut. Pasalnya tren Sephora Kids ini memiliki potensi risiko kesehatan yang serius bagi pengguna anak-anak. Paparan dini bahan kimia tertentu dapat berpotensi memicu reaksi alergi yang dapat mengganggu endokrin dan fitoestrogen sehingga berpengaruh pada perkembangan hormon anak.
Selain risiko dermatologis, para ahli juga mengkhawatirkan efek psikologis yang mempengaruhi anak-anak. Tren Sephora Kids ini dapat mengalihkan perhatian anak-anak dari kegiatan yang lebih produktif dan bermanfaat. Tren ini memberikan citra palsu pada anak-anak sehingga muncul kecemasan, kedewasaan dini (precocious maturation) bahkan hingga obsesi terhadap kesempurnaan kulit maupun produk-produk mewah yang mahal.
Fenomena ini sejatinya bukan sekadar tren kecantikan yang biasa, melainkan manifestasi dari liberalisme yang menancapkan pengaruhnya sejak usia dini. Liberalisme memandang kebebasan individu sebagai nilai tertinggi, termasuk kebebasan berekspresi, berpenampilan, dan mengonsumsi apa pun dengan mengesampingkan batas norma maupun agama. Anak-anak pun diperlakukan layaknya konsumen dewasa yang sah untuk dieksploitasi hasrat dan keinginannya, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap fitrah, kesehatan, dan kepribadian mereka.
Paparan masif media sosial dikalangan anak memang sangat berpengaruh sekali terhadap cara berpikir, bersikap, maupun gaya hidup pada anak. Termasuk mempengaruhi cara mereka memahami agama. Anak yang terpapar media sosial kerap kali menjadikan konten-konten yang berseliweran tersebut menjadi standar hidup mereka. Jadi, bagi mereka agama bukan lagi sebagai pedoman hidup.
Mirisnya, negara tidak pernah mempermasalahkan hal ini. Fakta pahitnya negara pengonsumsi sistem kapitalisme liberal akan memisahkan agama dari kehidupan. Akhirnya banyak anak yang fitrah dan potensinya tercabut. Oleh karena itu, pada era digital ini banyak anak mengalami FOMO (fear of missing out) atau takut tertinggal jika tidak mengikuti sebuah tren.
Dalam sistem kapitalisme liberal anak tidak lagi diposisikan sebagai amanah yang harus dijaga, tetapi sebagai ceruk pasar baru yang sangat menjanjikan. Algoritma media sosial bekerja tanpa nilai, tanpa etika, dan tanpa tanggung jawab moral. Selama mampu menghasilkan klik, views, dan profit, maka konten apa pun dianggap sah. Di sinilah terlihat jelas bagaimana liberalisme berkolaborasi dengan kapitalisme untuk merampas masa kanak-kanak dan menggantinya dengan gaya hidup konsumtif, narsistik, dan rapuh secara mental.
Ketika negara berasaskan sekularisme, maka agama disingkirkan dari pengaturan kehidupan, termasuk dalam urusan pendidikan, media, dan perlindungan anak. Akibatnya, negara bersikap permisif terhadap arus konten dan industri yang merusak generasi. Negara hanya hadir sebagai regulator pasar, bukan penjaga akhlak dan akidah rakyatnya. Inilah sebab mengapa persoalan ini terus berulang dan makin masif, karena akar masalahnya tidak pernah disentuh.
Sebenarnya platform media sosial bisa menjadi wadah tumbuh kembang generasi yang mendukung pembentukan mental yang kuat serta memiliki kepribadian Islam yang khas. Asalkan semua itu ada pendampingan dan pengarahan yang bukan hanya dibebankan pada individu atau keluarga, tapi juga pada negara.
Negara memiliki peran yang sangat vital terhadap pembentukan mental dan kepribadian Islam generasi muda. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah bahwa seorang khalifah itu memiliki fungsi utama sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung/perisai). Artinya seorang khalifah juga bertugas sebagai penjaga dan penyelamat generasi. Khalifah akan melindungi rakyatnya tidak hanya di dunia nyata saja, tapi juga di dunia maya. Jadi, Islam sendiri tidak pernah anti terhadap kemajuan teknologi. Dengan visi ideologis yang jelas, khalifah akan memastikan bahwa setiap kebijakan digital selalu berpihak pada penjagaan akidah, akhlak, dan intelektualitas umat.
Oleh karena itu, persoalan Sephora Kids tidak cukup diselesaikan dengan imbauan bijak bermedia sosial atau pendampingan orang tua semata. Selama sistem liberal kapitalisme masih menjadi fondasi kehidupan, maka anak-anak akan terus menjadi sasaran empuk eksploitasi industri dan media. Islam memandang anak sebagai amanah yang wajib dijaga secara kolektif oleh individu, masyarakat, dan negara. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara kafah dalam naungan Khilafah, negara benar-benar berfungsi sebagai junnah yang melindungi generasi dari kerusakan ideologi, budaya, dan gaya hidup yang bertentangan dengan fitrah manusia.[]

0 Komentar