Tatkala Mencari Pekerjaan Layaknya Hunger Games




Karina Fitriani Fatimah 


#TelaahUtama — Dalam laporan Labor Market Brief Volume 6 Nomor 11 (November 2025), Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mencatat lonjakan kenaikan jumlah penduduk yang tidak bekerja dan telah “putus asa” untuk mencari kerja atau dikenal dengan istilah “discouraged workers”. Angka kenaikan mencapai 11% dari tahun 2024 dengan jumlah discouraged workers sekitar 1,68 juta menjadi 1,87 juta orang per Februari 2025 (kabarbisnis.com, 14/12/2025). Meski secara proporsi jumlahnya relatif kecil dibanding dengan keseluruhan jumlah penduduk usia kerja, fenomena ini menyingkap sinyal tekanan baru dalam bursa lapangan kerja Indonesia. 


Dari laporan LPEM FEB UI terungkap bahwa lebih dari 50% kelompok tersebut merupakan lulusan SD (Sekolah Dasar) atau bahkan tidak tamat SD. Mereka yang berpendidikan rendah tampak harus rela tersisih dalam bursa penarian kerja. Namun, hal yang jauh lebih menyesakkan dada dalam laporan tersebut ialah fakta banyaknya lulusan pendidikan tinggi yang masuk ke dalam kategori pekerja “putus asa”. Tercatat sekitar 45.000 lulusan S1 (sarjana) dan setidaknya 6.000 jebolan S2 (magister) dan S3 (doktorat) masuk ke dalam kategori discouraged workers (detik.com, 07/12/2025). Fenomena ini kemudian mematahkan asumsi bahwa orang-orang dengan pendidikan tinggi menjadi “kebal” atas tekanan pasar kerja. Realitas tersebut menunjukkan bagaimana mobilitas sosial melalui jalur pendidikan kekinian justru mulai menemui jalan buntu. 


Kelompok dengan pendidikan rendah menghadapi hambatan berupa minimnya skill atau kemampuan dasar, keterbatasan akses informasi pasar kerja serta kian sempitnya peluang kerja di tengah tranformasi ekonomi digital. Sedangkan kelompok pendidikan tinggi justru mengalami hambatan berupa ketimpangan ekspektasi upah, hambatan usia bagi mereka yang terlambat masuk pasar kerja karena mengejar pendidikan hingga ketidaksesuaian keahlian dengan kebutuhan industri dalam negeri. Pertumbuhan jumlah kelompok pekerja putus asa kemudian kian meningkat seiring dengan kian terbatasnya akses terhadap pekerjaan yang layak di dalam negeri yang justru tidak jarang diisi oleh para pekerja migran titipan investor asing. 


Keberadaan pekerja putus asa tidaklah terjadi begitu saja. Faktanya sebagian besar dari mereka pada awalnya aktif mencari pekerjaan. Tidak sedikit dari mereka sudah mengirimkan CV beratus-ratus kali atau mengikuti pelatihan daring guna meningkatkan daya saing. Hanya saja upaya mereka tetap tidak membuahkan hasil. Fenomena yang sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga dalam pasar kerja global, peningkatan kelompok pekerja putus asa menjadi sinyal awal atas tekanan struktural ekonomi yang tidak secara langsung terlihat dalam angka pengangguran terbuka. Kondisi ini justru menguak masalah lebih besar yakni kegagalan sistem pendidikan serta kegagalan negara dalam menyediakan jalur masuk yang kredibel ke pasar kerja. 


Secara umum, bursa lapangan kerja negeri ini memang berada dalam kondisi memprihatikankan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya 7,28 juta orang usia produktif menganggur di Indonesia per Februari 2025 atau sekitar 4,76%. Angka tersebut meningkat 83.000 jiwa dibanding periode yang sama pada tahun lalu. Data Moneter Internasional (IMF) bahkan memproyeksikan pada bulan April lalu bahwa tingkat pengangguran di Indonesia bisa mencapai 5% pada akhir tahun 2025. Angka tersebut menjadikan Indonesia memiliki tingkat pengangguran kedua tertinggi di Asia setelah Tiongkok yang diproyeksikan berada di angka 5,1% (channelnewsasia.com, 17/06/2025). 


Maraknya angka pengangguran disertai dengan menguatnya keberadaan para pekerja putus asa memperlihatkan bagaimana penerapan sistem kapitalisme global telah gagal mewujudkan kesejahteraan. Negara dalam sistem kapitalisme tidak lagi berperan sebagai penjaga dan pemelihara urusan umat melainkan sekadar “wasit”. Negara berlepas diri dari kewajibannya dalam menyediakan lapangan kerja yang layak bagi masyarakat. Peran tersebut justru diserahkan pada mekanisme pasar yang pada faktanya tidak berbeda dari hutan rimba yang mana mereka yang “kuat” akan selalu menindas yang “lemah”. Negara tidak berperan sebagai pelindung masyarakat terutama golongan lemah dan membiarkan rakyat berusaha hidup sendiri. 


Untuk menciptakan lapangan kerja, negara haruslah menguasai sektor industri. Artinya negara berperan aktif dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA) terutama setiap sektor yang berkaitan dengan harta kepemilikan umum seperti air, energi dan tambang. Dari sini negara kemudian memaksimalkan segala potensinya dalam memanfaatkan SDA yang ada dan mengembalikan segala manfaatnya kepada masyarakat. Pengelolaan SDA oleh negara berpotensi menciptakan sektor industri berat yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan secara otomatis meningkatkan bursa lapangan kerja domestik untuk diisi oleh anak-anak bangsa.  


Namun sayang, bukannya fokus mengelola SDA negara justru mengundang investor swasta dan asing dalam mengelolanya. Para investor bahkan mendapat jutaan kemudahan dari sisi pajak, perizinan hingga validasi hukum positif semisal yang termaktub dalam UU Cipta Kerja. Pemerintah berdalih bahwa masuknya para investor akan menambah jumlah lapangan kerja. Hanya saja pada kenyataannya baik level pekerja kasar maupun tenaga ahli justru banyak didatangkan dari negeri asal para investor. Jika pun ada tambahan lapangan kerja, hanya berupa tenaga level rendah dan menengah dengan upah seadanya. 


Tidak hanya penguasaan industri, untuk menciptakan lapangan kerja negara membutuhkan pasar agar serapan produk dan jasa mumpuni. Sayangnya jumlah pasar di negara berkembang seperti Indonesia justru dikooptasi oleh produk-produk asal negara-negara besar semacam Amerika, Cina, dan Eropa. Alhasil, pasar dalam negeri justru dibanjiri oleh produk asing. Problem tingginya angka pengangguran bukan hanya masalah minimnya keterampilan atau kurangnya kompetensi, lebih jauh ini adalah masalah terjajahnya Indonesia oleh pasar global yang dikuasai oleh negara-negara maju. Dari sini tampak jelas bagaimana sistem ekonomi kapitalis meniscayakan terjadinya penjajahan terstruktur atas negara-negara maju terhadap bangsa ini baik dari sisi penjajahan SDA dan pangsa pasar. 


Kapitalisme tidak hanya mempersempit akses lapangan kerja bagi masyarakat tetapi juga menciptakan ketimpangan ekonomi. Tidak bisa kita pungkiri bahwa dewasa ini kekayaan dan SDA di dunia umumnya dan di Indonesia khususnya justru dikuasai oleh segelintir elite. Per Maret 2025 orang terkaya di Indonesia yakni Low Tuck Kwong, pemilik PT Bayan Resources Tbk (BYAN) memiliki kekayaan sebesar US$27,9 miliar atau setara dengan Rp461 triliun. Sedangkan harta kekayaan milik Hartono bersaudara, Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono masing-masing mencapai US$21,9 miliar dan US$21,1 miliar (cnbcindonesia.com, 16/03/2025). Jumlah kekayaan para elite tersebut jelas saja bak langit dan bumi jika dibandingkan dengan jumlah kekayaan golongan menengah ke bawah negeri ini. Jurang ketimpangan semacam ini menjadikan kesempatan ekonomi hanya berkutat pada kalangan terbatas. Oleh karenanya selama bangsa ini bersikukuh dalam mengemban sistem ekonomi kapitalis, indonesia akan terus dibayang-bayangi oleh krisis lapangan kerja. 


Di sisi lain, sistem pendidikan kapitalistik kian menghancurkan tatanan sosial-ekonomi masyarakat. Sistem pendidikan semacam ini hanya fokus mencetak sumber daya manusia (SDM) dengan mental pekerja yang siap pakai dalam pasar industri. Indonesia sebagai negara berkembang yang lebih banyak berperan sebagai konsumen pasar global, tidak akan pernah mampu menyerap secara optimal tenaga kerja ahli dengan kualifikasi pendidikan tinggi. Pasalnya, pasar global dikuasai oleh negara-negara ekonomi raksasa yang secara pasti akan menempatkan SDM mereka di level atas ekonomi. Kondisi ini kian mempersempit akses lapangan kerja bagi anak-anak bangsa berpendidikan tinggi negeri ini. 


Masyarakat pada akhirnya didoktrin oleh negara dengan narasi kemandirian ekonomi. Pemerintah secara struktural mengesahkan berbagai kebijakan yang mengarah pada kemandirian ekonomi rakyat agar negara kian mudah berlepas tangan dalam kewajibannya mengurusi masyarakat. Negara gencar mendorong ekonomi kreatif yang lebih banyak memperluas sektor ekonomi informal. Jadilah anak-anak bangsa ini mayoritas bekerja di sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) ataupun di sektor informal lainnya seperti menjadi driver ojol atau kurir. 


Padahal di dalam Islam, negara berkewajiban menyiapkan lapangan kerja yang layak bagi siapa saja yang membutuhkan melalui realisasi sistem ekonomi dan pendidikan Islam. Negara kemudian menjalankan sistem politik dan pemerintahan Islam yang menjamin pelaksanaan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk memastikan peran negara dalam mengurusi urusan masyarakat. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/khalifah adalah pemelihara urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (Hadis Riwayat Bukhari Muslim)

Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar