Shazia Alma
#TelaahUtama — Ketika negara gagal memberi ruang bagi ilmu, kaum terpelajar pun tersingkir. Laporan Labor Market Brief LPEM FEB UI yang diberitakan DetikEdu mencatat hingga Februari 2025 terdapat 1,87 juta orang putus asa mencari kerja, termasuk sekitar 6.000 lulusan S2–S3 serta puluhan ribu lulusan S1 yang berhenti mencari pekerjaan karena merasa peluang tidak tersedia (Detik.com, 2025). Fakta ini menunjukkan bahwa persoalan pengangguran terdidik bukan sekadar soal lapangan kerja, melainkan cerminan arah pembangunan yang tidak menempatkan ilmu sebagai kekuatan strategis.
LPEM FEB UI menjelaskan kondisi ini dipengaruhi oleh ketidaksesuaian keterampilan, tuntutan pengalaman kerja, serta hambatan struktural di pasar tenaga kerja (Detik.com, 2025). Penjelasan ini penting, tetapi belum menyentuh akar persoalan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan struktur ekonomi Indonesia masih didominasi sektor informal dan pekerjaan berproduktivitas rendah, sementara sektor industri strategis, riset, dan teknologi tumbuh terbatas (BPS, Sakernas). Akibatnya, jumlah lulusan terdidik meningkat, tetapi ruang pengabdian bagi ilmu justru menyempit.
Dalam pandangan Islam secara politik, kondisi ini mencerminkan lemahnya peran negara dalam mengurus umat. Islam memandang negara sebagai ra‘in—pengurus urusan rakyat—bukan sekadar pengawas pasar. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyyah menegaskan bahwa kekuasaan bertujuan mengatur urusan agama dan dunia demi kemaslahatan. Ketika kaum terpelajar dibiarkan menganggur dan kehilangan harapan, negara sejatinya telah melepaskan amanah pengurusan ilmu.
Islam juga menempatkan ilmu sebagai kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menjelaskan bahwa ilmu-ilmu yang dibutuhkan masyarakat—seperti kedokteran, teknik, pertanian, dan administrasi—wajib ada dan wajib diamalkan. Jika ilmu tidak hadir atau tidak diterapkan untuk kemaslahatan umat, tanggung jawabnya tidak hanya pada individu, tetapi juga pada masyarakat dan penguasa. Karena itu, pendidikan dalam Islam tidak berhenti pada pencetakan gelar, melainkan meniscayakan penerapan ilmu dalam kehidupan nyata.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa keterpaduan antara ilmu dan negara pernah menjadi kekuatan peradaban. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, para ahli ditempatkan sesuai keahliannya dan dijamin kebutuhannya melalui baitulmal (Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj). Tradisi ini berlanjut pada masa-masa setelahnya. Pada era Sultan Muhammad al-Fatih, pendidikan diarahkan untuk misi besar peradaban. Ia dibesarkan dengan ilmu syariah, matematika, teknik, dan strategi. Penaklukan Konstantinopel membuktikan bahwa ilmu yang diarahkan dan difasilitasi negara mampu mengubah sejarah.
Dalam Kekhilafahan Utsmani, penerapan ilmu berlangsung lebih sistematis. Negara membangun madrasah, rumah sakit (darüşşifa), lembaga administrasi, dan pusat-pusat keilmuan yang menyerap ulama, tabib, insinyur, dan administrator. Ilmu kedokteran diterapkan dalam pelayanan publik, ilmu teknik menopang infrastruktur dan pertahanan, sementara ilmu administrasi memastikan pengelolaan wilayah yang luas. Kaum terpelajar tidak dibiarkan mencari peran sendiri, tetapi diarahkan untuk melayani kepentingan umat dan negara.
Ibn Khaldun dalam Al-Muqaddimah menegaskan bahwa kemajuan peradaban (‘umran) hanya lahir ketika ilmu, kerja produktif, dan kekuasaan politik berjalan seiring. Ketika negara berhenti menjadi penggerak penerapan ilmu, peradaban akan melemah. Gambaran inilah yang relevan dengan kondisi hari ini—ilmu ada, lulusan ada, tetapi belum diurus secara serius dalam arah pembangunan.
Dalam kerangka Islam, ilmu dan lulusan pendidikan tinggi terkait langsung dengan dakwah dan jihad dalam makna luas. Dakwah berarti membangun sistem kehidupan yang adil dan bermakna, sementara jihad adalah kesungguhan mengerahkan seluruh potensi umat—termasuk ilmu dan kebijakan—untuk menjaga dan mengembangkan peradaban. Dengan pemahaman ini, lulusan S2 dan S3 adalah aset strategis umat. Menganggurnya mereka bukan hanya kerugian ekonomi, tetapi juga pelemahan daya juang intelektual umat.
Pemikir politik Islam Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa negara dalam Islam wajib menciptakan kebutuhan publik yang menyerap ilmu, bukan menyerahkan nasib lulusan pada mekanisme pasar (Nizham al-Islam). Karena itu, solusi Islam tidak cukup dengan pelatihan ulang atau penyesuaian kurikulum, tetapi menuntut perubahan arah pembangunan: dari pembangunan yang mengejar pertumbuhan, menuju pembangunan yang memuliakan ilmu dan manusia.
Menganggurnya kaum terpelajar bukan takdir, melainkan akibat pilihan arah pembangunan. Selama ilmu dipinggirkan dan tidak diurus secara serius, pendidikan tinggi akan terus melahirkan generasi cerdas yang kehilangan ruang pengabdian. Islam menawarkan arah yang lebih bermakna—dengan peran negara mengelola ilmu sebagai kekuatan umat, kaum terpelajar diarahkan melayani kepentingan publik, dan pembangunan diletakkan sebagai jalan membangun peradaban. Ketika ilmu kembali dimuliakan, kaum terpelajar tidak lagi menjadi angka pengangguran, tetapi menjadi penggerak kebangkitan umat dan masa depan bangsa. Wallahualam bissawab.

0 Komentar