Hati-Hati, Tenggelam...!

 


Rini Sarah


#Remaja — Dunia maya ibarat segitiga Bermuda. Segitiga Bermuda adalah sebuah wilayah di bagian barat Samudra Atlantik Utara. Kenapa disebut segitiga? Karena wilayah itu seakan mempunyai tiga titik sudut. Titik sudut di bagian utara ada di Bermuda ( Wilayah seberang Laut Britania Raya). Titik sudut selanjutnya di bagian  selatan ada di Puerto Rico (Wilayah Amerika Serikat). Titik sudut terakhir di bagian barat ada di Miami (Florida, Amerika Serikat). Segitiga ini terkenal seram. Banyak yang menggambarkan bahwa di tengah-tengahnya seperti ada black hole yang bisa menyedot kapal laut, bahkan pesawat udara. Kapal-kapal dan pesawat itu “tersedot” lalu tenggelam tanpa bisa dijelaskan bencana metereologi apa yang terjadi hingga bisa dituduh sebagai penyebab tenggelamnya kapal dan pesawat tersebut.


Dunia maya juga punya daya magis yang sama. Pesonanya ibarat Bermuda dengan black hole-nya. Hanya saja korbannya bukan lagi kapal dan pesawat, tapi manusia-manusia seperti kita tanpa pandang usia. Tua muda, perkasa atau renta saat ini gandrung dengan dunia maya dan tak terasa tenggelam ke dalamnya. Terlihat dari data yang dikeluarkan oleh statisca.com, total pengguna internet di Indonesia pada pertengahan 2025 sebesar 229,4 juta jiwa. Angka ini setara dengan 80,66% dari total populasi. Rentang datanya pun merata pada setiap generasi, mulai dari Boomers sampai Gen Z. 


Sudah bisa ditebak juara pengguna internet adalah Gen Z. Untuk waktu mengakses internet, ternyata Indonesia berada di atas rata-rata global. Rata-rata waktu akses internet warga +62 adalah 7 jam 22 menit. Sementara rata-rata global adalah 6 jam 38 menit. (cnbcindonesia.com, 4/11/2025) Sungguh bukan waktu yang sedikit. Seperti lamanya kamu berada di sekolah, kalau masuk jam 7 pulang jam 14.22!


Kelam


Dunia maya tidak selamanya seperti wonderland, tapi banyak monster yang bersembunyi di sisi-sisi kelam yang siap menelan. Sialnya, di dunia maya dibuat sebuah aturan main bernama algoritma yang membuat manusia betah berlama-lama dan intensitasnya makin meningkat dalam berselancar di dunia maya. Dan, itu tidak terasa. Asyik scrolling tiba-tiba habis waktu berjam-jam tidak terasa.


Tidak sampai di situ saja, ternyata algoritma media yang dikendalikan oleh raksasa perusahaan digital juga bisa mengendalikan hidup kita. Dia bisa ikut menentukan keputusan-keputusan hidup yang akan kita ambil. Apalagi kalau kita sudah bersentuhan dengan algoritma AI. Sekarang orang dikit-dikit kan kita nanya AI lagi. Bahkan, AI sudah dianggap sebagai besti curhat. Karena si AI ini pandai nempatin diri hingga dianggap besti-able bagi semua pengaksesnya. Ndilalahnya, si AI ini semacam orang yang people pleaser, ditanya gimana cara bunuh diri yang cepet mati tapi minim sakit saja dijawab dengan detail. Kalau curhat ke manusia kan minimal ditanya, “Kenapa nanya itu?”


Konten-konten media yang beredar di dunia maya secara tidak sadar sudah jadi sarana pendidikan buat netizen. Banyak standar-standar terutama di media sosial yang dianut oleh netizen dan dijadikan pedoman bagi cara berpikir dan attitude mereka. Misal ni ada standar T*kt*k. Standar ini bener-bener ngarahin netizen dalam berpikir dan bersikap. Kaya kriteria rumah tangga ideal, wanita cantik, dll. semuaaa harus memenuhi standar T*kt*k.


Tentu saja, standar-standar di media sosial kebanyakan tidak bersumber dari hukum Islam kafah. Banyaknya justru bertentangan dengan pemikiran maupun syariat Islam kafah. Tapi memang konten begini yang ditumbuhsuburkan kalau di media. Justru yang menyerukan hidup takwa sesuai Islam kafah yang suka kena restriksi  lalu dihabisi (akunnya). Kalaupun bisa tetap hidup ya dibatasi hanya bisa beredar di akun-akun yang sepaham dengan algoritma echo chamber atau filter-bubble.


Kenapa demikian? Karena bingkai dari teknologi informasi di dunia maya adalah akidah sekuler dan ideologi kapitalisme. Raksasa digital pengendali media ini menganut ideologi dan akidah yang sama. Mereka maunya membentuk orang-orang yang sepaham dengan mereka sekaligus membentuk user loyal agar selalu dapat high traffic. Ujungnya sih tetap demi cuan.


Dalam ideologi kapitalisme sekuler, segala sesuatu memang diukur oleh cuan. Mereka akan senantiasa melihat manfaat ketika ada cuan. Meski harus mengorbankan apa pun, termasuk masa depan generasi muda. Mereka tidak berpikir bahwa generasi muda tangguh itu harus dipersiapkan agar mereka bisa memimpin masa depan. Tentu saja, itu tidak bisa didapatkan dengan mengikat leher mereka di depan gadget masing-masing lalu diberi mimpi hidup enak dengan cara cepat oleh  influencer flexing. Yang ada justru terjadi fenomena brain rot. Generasi dengan otak busuk gak bisa diajak mikir bahkan gak tertarik lagi berpikir. 


Sisi kelam dunia maya ketika diasuh oleh kapitalisme sekuler bukan hanya stop sampai sana, ia juga jadi sarang berkembangnya kejahatan. Mulai dari pem-bully-an, pelecehan seksual, judol, pinjol, pornografi, hingga scam yang berujung TPPO. Di setiap kejahatan ini remaja juga banyak yang jadi korban, bahkan jadi pelakunya. Beginilah, teknologi informasi ketika diasuh oleh sekuler-kapitalisme. Kelam. Maka hati-hatilah agar tidak tenggelam!


Cerdas 


Yups, kita memang harus berhati-hati ketika berinteraksi dengan produk digital. Agar tidak tenggelam dan lupa diri, kita harus cerdas bermedia. Agar kita bisa mengukur aktivitas bermedia kita. Berapa lama, konten apa saja yang diakses, kita gunakan untuk apa media ini  agar  bisa jadi wasilah pahala dan kebaikan untuk umat. Pokoknya kita harus ngerti do dan don’t-nya deh.


Untuk ngerti do dan don’t ketika bermedia tentu saja kita mesti belajar. Kita harus tahu ilmunya. Ibarat kata itu ilmu akan jadi perisai kita ketika bermedia. Ilmu yang bisa jadi perisai ketika bermedia tentu saja tidak akan muncul dari akidah dan ideologi yang mengasuh media saat ini. Justru malah dia yang bikin segalanya tanpa kendali. Kita perlu ilmu yang lain yang sakti. Ilmu itu tidak lain adalah ilmu yang bersumber dari akidah dan ideologi Islam.


Dalam Islam, manusia tidak boleh berperilaku semaunya. Muslim harus terikat pada syariat Islam kafah sebagai konsekuensi keimanannya. Kalau melanggar tentu akan kena azabnya. Selain itu dalam Islam kemanfaatan dan kebahagian tidak disandarkan kepada cuan atau hal yang sifatnya materi. Tetapi, dilandaskan kepada syariat dan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah. Orang Islam mah baru bahagia kalau dia taat kepada Allah dan Rasulullah dengan wujud taat kepada syariat Islam kafah. Makanya idupnya tenang dan senantiasa berkah.


Pemikiran seperti ini gak dipakai di dunia nyata saja, tapi dibawa juga ke dunia maya. Muslim pasti akan berhati-hati menggunakan teknologi ini. Sesuai dengan hukum syarak atau tidak. Kalau sesuai ya gas. Klo ngga, ya udah tinggal tanpa menoleh ke belakang lagi. Menggunakan teknologi termasuk media digital tidak dilarang dalam Islam, tetapi tidak boleh membuat lalai dari ketaatan. Dari Abu Hurairah r. a., Rasulullah saw. bersabda, "Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya." (Hadis Riwayat Tirmidzi) Perkara mubah yang berlebihan dan melalaikan kewajiban termasuk dalam kategori "tidak bermanfaat".


Nah, kalau udah gini nanti penggunaan media juga jadi sesuai kebutuhan dan tidak dipakai untuk kejahatan. Kewajiban beribadah,  belajar, mengkaji Islam, membantu orang tua, ngobrol di dunia nyata, dan hal real yang produktif lainnya bisa dilakukan. Media hanya dijadikan sebagai sarana untuk mempermudah ketaatan dan aktivitas real.


Orang-orang yang berpikiran seperti ini tidak tumbuh di ruang hampa. Perlu upaya serius dari kita untuk berproses menjadi orang yang demikian. Ibarat kata, ilmu itu gak datang sendiri. Dia harus dijemput dengan kesungguhan, pengorbanan, bahkan air mata. Cuz, mulai mengkaji Islam kafah dari sekarang. Datangi forum kajian, baca buku tentang keislaman, sering diskusi juga tentang Islam dan kehidupan, lalu amalkan dan sebarkan ilmu yang didapat. Insya Allah, kita akan makin tangguh dalam menghadapi godaan dunia digital.


Selain itu, kita manusia yang lemah ini tak mampu hidup sendiri. Perlu dong yang namanya support system. Support system itu bisa kita dapatkan dari keluarga,  circle pertemanan, dan si paling sakti mah adalah negara. Negara yang bisa jadi support system tentu saja bukan negara yang menjadikan sekuler-kapitalisme sebagai rujukan dalam mengelolanya. Tapi, butuh negara yang menjadikan Islam  kafah sebagai landasan dan sistem hukumnya.


Negara yang menerapkan Islam akan menjadikan syariat Islam juga hidup di ruang digital. Ruang digital nanti akan dijadikan sebagai sarana pendidikan, komunikasi, dan propaganda kebaikan Islam ke seluruh dunia. Selain itu, negara Islam juga akan melakukan pengawasan di ruang digital oleh hakim jika ada pelanggaran syariat. Bukan buat memata-matai, tapi untuk memastikan tidak ada pelanggaran syariat Islam dan hak-hak umum. 


Sekarang support system itu belum terwujud. Tapi kita tidak boleh pasrah, ya sudahlah. Tapi kita memang perlu berjuang untuk menghadirkannya kembali. Tentu saja perjuangan itu bukan seperti yang digambarkan di buku sejarah nasional, yaitu ngangkat senjata. Perjuangan saat ini adalah perjuangan membentuk kesadaran bagi kaum muslim agar mau melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan metodenya. Perjuangan membangun kesadaran itu wujudnya adalah mengubah pemikiran yang tidak islami menjadi islami seperti yang dijalani Nabi saw. Siap untuk berjuang? Siap dong, masa nggak.[]






Posting Komentar

0 Komentar