Rebut Kembali Kesadaran Gen-Z: Melawan Hegemoni Kapitalisme di Tengah Krisis Pendidikan

 



 

Shiha Utrujah

 

#Wacana — Dilansir dari kompas.com, hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025 mengejutkan banyak pihak. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, secara terang-terangan mengungkapkan bahwa nilai Matematika siswa SMA berada pada kategori buruk. Ia bahkan menyebutnya “jeblok-blok-blok-blok” saat membuka Munas Ikapi ke-20 di Jakarta. Pernyataan ini sontak memicu perhatian publik: bagaimana mungkin generasi yang digadang-gadang sebagai lokomotif masa depan justru melemah dalam kemampuan akademik dasar? (23/11/2025)

 

Namun, jika ditelisik lebih dalam, rendahnya nilai TKA bukan sekadar persoalan gaya belajar atau kurangnya persiapan. Ia adalah gejala lapisan permukaan dari masalah yang jauh lebih kompleks: Gen-Z sedang tumbuh dalam pusaran tekanan hidup dan hegemoni ideologi sekuler kapitalisme yang mengatur ritme kehidupan mereka, baik di dunia nyata maupun digital.

 

Generasi muda hari ini menghadapi tantangan berlapis. Pertama, kualitas akademik yang menurun. Matematika, sebagai fondasi logika dan kemampuan analitis, kini justru menjadi titik lemah. Banyak siswa tidak lagi memiliki ketahanan belajar dan daya pikir mendalam. Sistem pendidikan pun cenderung pragmatis, mengejar output cepat alih-alih menumbuhkan kecintaan pada proses berpikir.

 

Kedua, tekanan hidup makin tinggi. Gen-Z hidup dalam era dengan biaya hidup yang melonjak, kompetisi kerja yang tak kenal ampun, serta standar sosial media yang membuat mereka terus merasa harus “sempurna”. Di tengah ketidakpastian ekonomi, generasi ini memikul beban mental yang besar, dari kecemasan masa depan hingga tuntutan untuk selalu relevan di ruang digital.

 

Ketiga, yang paling krusial adalah hegemoninya ideologi di platform digital. Media sosial bukan lagi sekadar alat komunikasi. Ia telah berubah menjadi medan pertempuran ideologis—nilai dan cara pandang manusia dibentuk secara masif. Konten yang dikonsumsi generasi muda setiap hari bukan hanya sekedar alat komunikasi, tetapi juga menanamkan pola pikir sekuler: hidup individualistis, mengejar kesenangan instan, dan memaknai diri berdasarkan standar kapitalistik.

 

Setiap klik dan interaksi digital mereka menjadi komoditas data, dikumpulkan dan diolah untuk melayani kepentingan pasar global. Inilah bentuk kolonialisme modern—penjajahan yang tidak terlihat, tetapi merasuk ke dalam kesadaran.

 

Potensi Besar Gen-Z Terkungkung Dua Kelemahan

Rasulullah saw. pernah menggambarkan bahwa pemuda adalah kekuatan di antara dua kelemahan. Mereka memiliki kemampuan belajar cepat, energi melimpah, keberanian berbicara, serta kepekaan sosial. Gen-Z bahkan memiliki keunggulan tambahan: mereka adalah digital native, terbiasa dengan teknologi, dan cekatan membaca tren.

 

Namun, potensi besar ini terkungkung dua kelemahan: lemahnya fondasi ideologis dan kuatnya pengaruh lingkungannya. Generasi yang kritis tanpa arah akan mudah terombang-ambing. Berani, tetapi tidak punya kerangka berpikir kokoh. Kreatif, tetapi mudah terseret arus budaya global yang menjauhkan mereka dari identitas. Jika kesadaran mereka terus dijajah oleh nilai sekuler kapitalisme, maka kemampuan akademik, keberanian, dan kecakapan digital tidak akan mampu melahirkan perubahan hakiki.

 

Mengembalikan Kesadaran, Identitas, dan Arah Pergerakan

Penyelamatan generasi tidak boleh berhenti pada imbauan belajar lebih giat atau menggunakan media sosial secara bijak. Itu hanya menyentuh permukaan. Tantangan terbesar adalah membebaskan kesadaran Gen-Z dari hegemoni ideologi sekuler kapitalisme dan mengembalikan mereka pada identitas Islam yang kuat.

 

Pertama, pembinaan syakhshiyah Islam harus menjadi fondasi utama. Generasi perlu dibekali pola pikir dan pola sikap Islam yang tertanam kuat, sehingga apa pun konten, tren, atau narasi digital yang mereka temui tidak mudah menggeser jati diri mereka.

 

Kedua, memadukan kekuatan digital native dengan mabda Islam. Jika keberanian berbicara, kemampuan teknologi, dan kreativitas Gen-Z dipadukan dengan kekokohan iman dan visi Islam, maka mereka tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi pemimpin pemikiran di era digital.

 

Ketiga, menguatkan qiyadah fikriyah (kepemimpinan pemikiran Islam). Generasi muda perlu diarahkan oleh ide besar, bukan sekadar tren viral. Mereka membutuhkan panduan ideologis yang memberi arah perubahan dan tujuan hidup yang bermakna.

 

Keempat, ini adalah tanggung jawab kolektif umat. Ibu sebagai madrasah pertama harus menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini. Aktivis muda harus menjadi teladan dalam gerakan kesadaran. Negara wajib menyediakan sistem pendidikan dan lingkungan yang mendukung pembentukan generasi muslim yang tangguh, bukan sekadar tenaga kerja untuk mesin kapitalisme.

 

Gen-Z sedang berada di titik kritis identitas. Nilai TKA yang jeblok hanyalah alarm kecil dari masalah besar yang mengintai. Tantangan utama mereka bukan sekadar akademik, tetapi pertarungan arah kesadaran. Jika berhasil dikembalikan kepada identitas Islam dan dibekali kepemimpinan pemikiran yang benar, Gen-Z akan menjadi generasi pelopor perubahan, bukan korban zaman.

 

Dengan pondasi Islam yang kokoh, keberanian mereka akan menemukan arah. Kreativitas mereka akan menemukan tujuan, dan potensi mereka akan menjadi cahaya bagi kebangkitan umat Islam menuju perubahan yang hakiki.[]

Posting Komentar

0 Komentar