Islam dan Amanah Melindungi Bumi: Telaah atas Banjir dan Longsor di Sumatra

 



 

Shazia Alma

 

#TelaahUtama — Banjir dan longsor hebat yang melanda Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara kembali menyingkap krisis ekologis yang tak lagi dapat disembunyikan. BBC Indonesia (30 November 2025) melaporkan puluhan ribu warga terdampak dan infrastruktur utama rusak akibat hujan ekstrem yang berpadu dengan degradasi lingkungan. Reuters (29 November 2025) mengabarkan kerusakan hutan dan pemukiman di Sumatra Utara yang memperbesar risiko longsor. Associated Press (29 November 2025) menegaskan korban terjebak karena akses terputus di berbagai kabupaten. Semua ini menunjukkan bahwa bukan cuaca semata penyebab bencana, melainkan kebijakan ruang dan lemahnya mitigasi di tingkat pusat maupun daerah.

 

Dalam perspektif Islam, realitas ini bukan hanya kegagalan administratif—ini kelalaian terhadap amanah Allah. Manusia sebagai khalifah (dalam Surah Al-Baqarah ayat 30) berkewajiban menjaga bumi. Syariat memerintahkan manusia mencegah kerusakan sebelum terjadi, sebagaimana kaidah dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah (mencegah kerusakan harus didahulukan daripada meraih kemaslahatan).

 

Jika ada dua pilihan, satu membawa manfaat dan satu membawa potensi bahaya/kerusakan, syariat mewajibkan menghilangkan bahaya terlebih dahulu, meskipun manfaatnya terlihat besar. Dalam kebijakan publik, syariat lebih mengutamakan pencegahan risiko, bahaya, dan kerusakan daripada keuntungan ekonomi, kepentingan politik, atau manfaat jangka pendek. Maka mitigasi adalah keharusan syar’i, bukan sekadar program teknis.

 

 

Kaidah ini menjadi dasar kuat bagi Islam dalam mitigasi bencana, perlindungan lingkungan, tata ruang, dan kebijakan yang menjaga keselamatan umat. Kaidah ini berasal dari tradisi ushul fikih dan banyak digunakan oleh ulama, termasuk Imam al-Ghazali, al-Izz ibn Abd al-Salam, Ibn Taymiyyah, dan lainnya.

 

Tujuan syariat, menurut al-Ghazali dalam al-Mustashfā, menempatkan ḥifẓ an-nafs sebagai salah satu pilar utama. Ini berarti negara yang membiarkan rakyatnya tinggal di wilayah rawan banjir dan longsor tanpa perlindungan memadai, atau mengizinkan alih fungsi hutan di DAS, telah mengingkari maqasid. Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Islam (1953) menegaskan bahwa negara wajib menjaga kebutuhan dasar dan keselamatan kolektif karena itu hak publik yang tidak boleh dikorbankan demi manfaat ekonomi kelompok tertentu.

 

Dari prinsip ini lahirlah konsep ḥimā, yang dijelaskan Ibn Qudāmah dalam al-Mughnī, yaitu wilayah perlindungan ekologis yang tidak boleh dieksploitasi. Walaupun praktik ḥimā tidak identik dengan mitigasi modern, ia menetapkan prinsip bahwa negara wajib menjaga zona penyangga ekologis demi keberlanjutan hidup. Dalam konteks hari ini, itu berarti perlindungan hutan lindung, sempadan sungai, resapan, hulu DAS, dan zona rawan bencana.

 

Namun, Islam tidak berhenti pada nilai. Islam membangun institusi. Dīwān—struktur administratif negara—menata koordinasi lintas sektor: dīwān al-kharāj mengawasi penyalahgunaan kekuasaan di sektor agraria (Abu Yusuf, al-Kharāj). Dīwān al-Kharāj tidak mengatur tata ruang atau mitigasi bencana secara langsung seperti pemerintah modern. Namun, mengatur distribusi lahan, irigasi, produktivitas, dan pajak tanah, sehingga bersinggungan dengan kebijakan agraria dan pengelolaan lahan secara umum.

 

Kemudian, Dīwān tabannī maṣāliḥ al-ummah (lembaga strategis) yang bertugas mengadopsi kebijakan publik atas dasar syariat; memastikan keberpihakan pada kepentingan rakyat; menjaga keselamatan manusia dan lingkungan; serta memastikan seluruh diwan lain berjalan sinkron. Dalam konteks mitigasi bencana, tata ruang, perlindungan hutan, atau pengelolaan lingkungan, dīwān ini memastikan bahwa semua kebijakan negara memiliki orientasi amanah, menjauhi mafsadat, dan mewujudkan maslahah rakyat (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur (1953–1979, berbagai edisi).

 

Ditambah dengan dīwān al-rasā’il yang menghubungkan pusat–daerah. Struktur ini menciptakan integrasi kebijakan sehingga mitigasi dan perlindungan ekologis bukan pekerjaan sektoral, melainkan proyek negara.

 

Di samping itu, lembaga ḥisbah berfungsi mengawasi pasar, lingkungan, dan fasilitas umum. Qāḍī ḥisbah dapat menghentikan aktivitas yang membahayakan masyarakat: pembangunan di zona labil, pembuangan limbah yang merusak, atau konversi lahan yang mengancam keselamatan publik. Prinsip "lā ḍarar wa lā ḍirār" (tidak boleh menimbulkan bahaya (mudarat) dan tidak boleh saling membahayakan) diterapkan sebagai kebijakan, bukan slogan moral. Di masa-masa panjang pemerintahan Islam, ḥisbah berperan sebagai pengawas publik yang independen dari kepentingan ekonomi elite.

 

Koordinasi ini dipertegas oleh mekanisme kepemimpinan Islam. Khalifah mewakilkan otoritas pada para wali dan amil, tapi tetap bertanggung jawab penuh. Jika terjadi bencana, negara bergerak cepat, bukan karena tekanan politik, tetapi karena amanah syar’i. Meski tidak ada catatan detail tentang mitigasi teknis seperti era modern, sejarah mencatat respons cepat saat gempa di Syam pada masa Umar bin Abdul Aziz dan konsistensi negara menjaga ḥimā selama ratusan tahun.

 

Islam juga menempatkan masyarakat sebagai subjek, bukan sekadar objek. Masjid, pesantren, dan komunitas menjadi pusat literasi ekologis. Surah Ar-Rum Ayat 41 memperingatkan bahwa kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah manusia. Ayat ini menjadi landasan pendidikan lingkungan yang mendorong masyarakat ikut menjaga sungai, hutan, dan ruang hidup.

 

Akar masalah bencana hari ini adalah tata kelola kapitalistik yang memandang ruang dan alam sebagai komoditas. Investasi mengalahkan keselamatan. Izinnya cepat, pengawasannya lemah, dan mitigasinya minim. Dalam kerangka Islam, hal itu adalah pengabaian amanah dan bentuk mafsadah ‘āmmah.

 

Karena itu Islam menawarkan solusi sistemik: negara dengan tata ruang berbasis risiko; perlindungan ekologis yang ketat; pengawasan ḥisbah; koordinasi dīwān yang terintegrasi; dan pendidikan komunitas yang membangun kesadaran. Ketika prinsip ini dijalankan, bencana tidak lagi menjadi siklus tahunan. Islam bukan hanya ajaran spiritual, tetapi sistem komprehensif yang memprioritaskan pencegahan dan keselamatan manusia.

 

Banjir dan longsor di Sumatra adalah panggilan untuk kembali pada amanah: menjaga bumi, manusia, dan masa depan—dengan sistem yang benar, bukan sekadar respons pascabencana. Wallahualam.[]

 

 

Posting Komentar

0 Komentar