Saat Layar Mengancam Fitrah: Seruan Gerakan Kolektif Menyelamatkan Generasi



NR. Nuha


#CatatanRedaksi — Dunia kini memasuki fase ketika ruang digital—yang semula diharapkan menjadi taman belajar—justru berubah menjadi ancaman bagi tumbuh kembang anak. Tanda bahaya ini makin nyata, termasuk dari Australia. Pada 4 Desember 2025, Reuters memberitakan bahwa pemerintah Australia secara resmi melarang anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial sekaligus mendorong Meta menutup akun-akun remaja. Kebijakan ini diambil setelah bukti kerusakan psikologis akibat dunia maya dinilai makin tidak terbantahkan.


Indonesia berada dalam arus kekhawatiran yang sama. Kompas, 6 Desember 2025, memberitakan hadirnya PP Nomor 17 Tahun 2025 atau PP Tunas sebagai upaya negara merespons ancaman cyberbullying, kecanduan digital, dan paparan konten negatif. Namun, regulasi yang baik tidak otomatis efektif bila pengawasan lemah, penindakan tak konsisten, dan platform digital tetap beroperasi dengan orientasi komersial semata.


Laporan UNICEF Childhood in a Digital World yang dirilis 12 Juni 2025 menunjukkan bagaimana ruang digital menyusup ke batin anak, membentuk persepsi diri dan moral mereka tanpa filter nilai yang benar. Data UNICEF 2022 bahkan mencatat bahwa 45 persen remaja Indonesia pernah mengalami cyberbullying, angka yang menunjukkan bahwa kita tengah menghadapi krisis serius yang tidak dapat dinormalisasi.


Tekanan digital ini juga tampak dari riset lokal. Survei CfDS UGM pada 2021, yang kemudian dirangkum oleh Pusat Penelitian DPR dalam Info Singkat edisi Oktober 2023, menunjukkan 45,35 persen pelajar pernah menjadi korban cyberbullying dan 38,41 persen pernah menjadi pelaku. UNICEF melalui laporan Online Knowledge and Practice of Parents and Children in Indonesia—Kajian Dasar 2023 menambahkan bahwa anak usia 8–18 tahun di Indonesia menghabiskan rata-rata 5,4 jam per hari di internet, sebagian besar tanpa pengawasan memadai.


Dalam perspektif generasi muslim, krisis ini menghadirkan lapisan tantangan tambahan. Mereka bukan sekadar kelompok usia, tetapi pewaris amanah peradaban. Temuan lembaga pemantau keamanan anak daring seperti UNICEF dan berbagai mitra globalnya kembali menegaskan meluasnya pelecehan dan risiko eksploitasi anak di ruang digital. Pada titik inilah kekhawatiran mencapai puncaknya: fitrah manusia—kesucian, akal sehat, dan harga diri dalam ajaran Islam—kian digerus oleh arus konten yang menormalisasi perilaku menyimpang, budaya instan, dan kompetisi citra.


Karena itu, langkah korektif harus dilakukan secara sistemik. Pemerintah perlu memastikan PP Tunas berjalan efektif melalui audit algoritma, verifikasi usia yang tidak dapat dimanipulasi, serta sanksi tegas bagi platform yang mengabaikan keselamatan generasi. Lembaga pendidikan harus tampil sebagai penjaga nilai sahih, bukan sekadar penyampai kurikulum. Orang tua wajib hadir sebagai pendamping aktif, bukan hanya penyedia perangkat. Masyarakat pun harus memandang keselamatan digital anak sebagai tanggung jawab kolektif.


Dalam pandangan Islam, menjaga fitrah generasi merupakan kewajiban bersama. Membiarkan dunia digital mengikis ketangguhan karakter generasi berarti lalai terhadap amanah tersebut. Kini generasi berada di persimpangan: apakah kita membiarkan algoritma membentuk pribadi yang rapuh dan menjauh dari potensi peradaban, atau berdiri bersama menyelamatkan mereka agar tetap menjadi pelopor perubahan?


Pilihan kedua adalah satu-satunya jalan bermartabat. Karena itu, keberanian kolektif harus segera diwujudkan dalam gerakan bersama menyelamatkan generasi—sebelum sejarah mencatat kita sebagai generasi yang membiarkan masa depan direbut oleh nilai-nilai merusak yang berlalu-lalang tanpa batas di layar-layar pemuda harapan peradaban.[]


Posting Komentar

0 Komentar