Membendung Bahaya Digital terhadap Generasi Muda



Karina Fitriani Fatimah

 

#TelaahUtama Pada Rabu (10/12) Pemerintah Australia secara resmi akan memberlakukan larangan penggunaan media sosial untuk anak-anak di bawah 16 tahun. Kebijakan nonpopulis tersebut disertai dengan ancaman denda hingga AUD 49,5 juta atau setara dengan Rp550 miliar bagi setiap perusahaan teknologi yang gagal mengambil langkah pencegahan anak-anak di bawah usia 16 tahun dalam menggunakan akun sosial media (liputan6.com, 04/12/2025). Beberapa platform sosial media yang terdampak ialah Facebook, Instagram, Snapchat, Tiktok ataupun platform streaming seperti Kick dan Twitch. Lebih jauh, kini Eropa mulai mempertimbangkan larangan serupa termasuk adanya pembatasan fitur-fitur yang bersifat adiktif, pemberlakuan ‘jam malam’ bersosial media hingga verifikasi usia pengguna di seluruh Uni Eropa (abc.net.au, 08/12/2025).

 

Enam hari sebelum kebijakan pelarangan sosial media bagi anak Australia diberlakukan, perusahaan raksasa Meta yang menaungi Facebook, Threads dan Instagram mulai melakukan upaya ‘bersih-bersih’. Perusahaan yang dipimpin Mark Zuckerberg tersebut sejak November 2025 bahkan telah cukup aktif memberi peringatan atas penutupan akun anak-anak di bawah umur. Kebijakan pemerintah Australia yang cukup kontroversial tersebut akan berdampak pada sekitar 150 ribu akun Facebook dan setidaknya 350 ribu akun Instagram. Sedangkan akun Threads ikut pula terdampak karena akun tersebut hanya bisa diakses melalui akun Instagram (jawapos.com, 05/12/2025).

 

Pendekatan ‘keras’ yang diambil Negeri Kangguru tersebut bukanlah tanpa alasan. Komisaris eSafety atau regulator internet Australia, Julie Inman Grant, menyebut langkah ‘radikal’ semacam ini dibutuhkan karena perubahan regulasi secara berangsur dianggap tidak efektif. Terlebih sekitar 96% remaja Australia memiliki setidaknya 1 (satu) akun media sosial. Grant menyebut sosial media dipenuhi dengan konten-konten berbahaya, kuat, dan menipu yang seringkali tidak dapat ‘dilawan’ oleh orang dewasa, apalagi anak-anak dan remaja. Perusahaan-perusahaan raksasa teknologi pun tidak sepenuhnya bersedia mengikuti kebijakan Canberra. Grant bahkan menyebut beberapa platform melibatkan pengajuan kasus mereka ke pemerintah AS selaku negara mercusuar teknologi (reuters.com, 05/12/2025).

 

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menuturkan kebijakan kontroversial negaranya bertujuan melindungi anak-anak Australia. Advokasi reformasi tersebut menunjukkan tekad Canberra untuk melakukan segala upaya dalam menyelamatkan entitas keluarga. Albanese bahkan menggarisbawahi adanya banyak tekanan yang dirasakan anak-anak dan para remaja dari pengaruh media sosial yang berpotensi menghancurkan hidup anak-anak Australia termasuk menghilangkan nyawa. Oleh karenanya upaya ‘perlawanan’ terhadap media sosial tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua semata tetapi sudah masuk ke ranah negara (pm.gov.au, 07/12/2025).

 

Namun langkah ‘heroik’ Australia nyatanya telah mengusik para pejuang kebebasan. Institusi Hak Asasi Manusia Australia menyebut kebijakan tersebut sebagai pelanggaran atas Konvensi Hak Anak dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Mereka berdalih setiap anak dijamin hak-haknya dalam kebebasan berekspresi, akses terhadap informasi serta terbebas dari diskriminasi digital. Hal yang serupa diserukan pula oleh UNICEF dan Human Rights Law Centre. Mereka bahkan memperingatkan bahwa larangan tersebut merusak hak-hak anak dan berisiko menimbulkan lebih banyak kerugian daripada manfaat (humanrights.unsw.edu.au, 07/12/2025).

 

Bahaya digital yang mengintai anak-anak Australia sesungguhnya telah dirasakan pula oleh generasi bangsa Indonesia. UNICEF bahkan mencatat anak-anak di Indonesia setidaknya mengakses internet 5,4 jam setiap harinya dengan 50% diantaranya terpapar oleh konten-konten dewasa. Data serupa dirilis pula oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut 89% anak-anak di atas usia 5 tahun di Indonesia telah biasa mengakses internet dan didominasi oleh pengguna media sosial (kompas.com, 06/12/2025). Tingginya akses digital pada usia dini jelas saja menimbulkan kekhawatiran terutama dengan minimnya pengawasan orang tua. Kondisi tersebut berpotensi meningkatkan risiko paparan konten-konten negatif seperti pornografi, perundungan daring (cyberbulliying) hingga konten-konten berbau kekerasan dan narkoba pada anak-anak.

 

Sayangnya upaya keras beberapa pihak dalam melindungi generasi muda justru sering terjegal oleh dogma kebebasan. Sebagaimana yang diserukan oleh para pegiat HAM, pembatasan digital dianggap sebagai pengkhianatan atas penegakan HAM sekalipun dimaksudkan untuk melindungi anak-anak. Dari sini wajar jika kebijakan nonpopulis sebagaimana yang dikeluarkan oleh Australia tidak jarang mendapat kecaman keras terutama dari para cuan, para raksasa teknologi dan Amerika selaku pemegang ‘panji’ teknologi dunia.

 

Tidak kita pungkiri bahwa digitalisasi menjadi sebuah fenomena yang tidak mungkin kita hindari dewasa ini. Penggunaan internet dan media sosial menjadi sebuah bagian penting dari kehidupan masyarakat. Di Indonesia sendiri penggunaan internet dan berbagai platform media sosial menjadi hal tak terpisahkan salah satunya dalam proses belajar mengajar.

 

Hanya saja dalam kehidupan kapitalisme, kemajuan teknologi ibarat pisau bermata dua. Teknologi informasi yang seyogyanya dapat memberikan manfaat dalam kemudahan komunikasi hingga pencarian informasi, kini menjelma menjadi ‘pusat kehidupan’ maya manusia. Masyarakat seringkali terjebak dalam kehidupan maya dan melupakan kehidupan nyata. Dampak buruk teknologi informasi khususnya sosial media lebih terasa pada anak-anak dan remaja. Bersama dengan tingkat literasi yang rendah, anak-anak jauh lebih rentan atas risiko penggunaan sosial media. Usia anak dan remaja masih belum memiliki kematangan proses berpikir dan masih berada dalam proses mencari jati diri. Oleh karenanya tidak jarang mereka kesulitan dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.

 

Informasi yang tersebar di media sosial khususnya kian menjerumuskan para generasi muda dalam kubangan gaya hidup sekuler. Mereka yang tengah kebingungan menentukan benar dan salah justru dijejali dengan serbuan konten-konten negatif tanpa filter akidah. Akibatnya anak-anak justru terbiasa menyaksikan kemaksiatan dan membenarkan hal tersebut sebagai bagian dari norma-norma kehidupan. Minimnya pengetahuan agama (Islam) pun membuat anak-anak muslim dunia khususnya Indonesia mengalami krisis identitas yang ironisnya membuat mereka tidak lagi menjadikan Al-Qur'an dan sunah sebagai tuntunan kehidupan.  

 

Jika masyarakat dunia khususnya Indonesia serius dalam upayanya menyelamatkan masa depan anak-anak, tidak cukup hanya dengan kebijakan pembatasan media sosial sebagaimana yang dilakukan Australia. Sistem kehidupan sekuler yang melahirkan pola hidup tanpa mengenal konsep halal dan haram hanya akan terus menjadikan asas manfaat guna meraih materi sebagai standar kebahagiaan. Dari sini upaya sekeras apa pun dalam membentengi anak-anak dari konten-konten negatif menjadi langkah yang sulit dan tidak banyak membuahkan hasil.

 

Sistem kapitalis yang menguasai dunia telah menjamin ‘kehidupan’ bagi industri pornografi, L98TQ, dan pejuang kekerasan. Dengan dalih ekonomi, para penguasa dunia akan terus melindungi para cuan yang berada di balik industri-industri menyesatkan tersebut. Akibatnya, peran negara menjadi mandul dan tidak mampu membendung kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme–sekuler yang terproyeksikan salah satunya dari kehancuran mental generasi muda. Gaya hidup liberal yang serba bebas pun menjadi hal tak terelakkan dan menjadi budaya paling ‘up-to-date'. Padahal  pemikiran sekuler yang menafikan peran Sang Pencipta dalam mengatur kehidupan manusia adalah biang kerok penghancuran anak-anak dan remaja.

 

Dari sini media sosial yang merupakan produk teknologi digital sudah sepatutnya ‘bertekuk lutut’ pada aturan-aturan Ilahi. Tidak cukup sampai di situ, seluruh pemanfaatan teknologi wajib menggunakan paradigma Islam demi kemaslahatan umat manusia. Negara kemudian berkewajiban pula membendung pemikiran sekuler–kapitalisme yang merusak agar tidak menjangkiti generasi muda. Kondisi semacam ini hanya akan dapat diraih dengan diterapkannya sistem pemerintahan dan sosial ekonomi Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Teguhnya akidah Islam yang bercokol di tiap-tiap individu masyarakat akan menjadi benteng pertahanan pertama anak-anak dalam melindungi diri mereka dari paparan pemikiran kufur. Allah Swt. berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.” (Surah An-Nisa Ayat 9)

Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]


 

Posting Komentar

0 Komentar