Menyelamatkan Generasi Muslim dari Kolonialisme Digital

 



Shazia Alma



#TelaahUtama — Keputusan Australia menekan Meta untuk menutup akun anak di bawah 16 tahun (Kompas.id, 6/12/2025) serta PP TUNAS yang dirilis Indonesia (Kompas.com, 6/12/2025) menunjukkan satu hal: dunia sedang panik menghadapi gelombang rusaknya generasi oleh platform digital. Namun, kebijakan seperti itu hanya memadamkan gejala, bukan merancang strategi serius untuk menyelamatkan peradaban.



Masalahnya bukan sekadar paparan konten negatif—tapi siapa yang mengontrol kesadaran manusia. Kapitalisme digital telah mengambil alih fungsi keluarga, sekolah, bahkan negara. Inilah bentuk kolonialisme baru yang oleh Malik Bennabi dalam The Question of Ideas in the Muslim World (1954) disebut sebagai “penciptaan kondisi dapat dikolonisasi”—ketika umat kehilangan kemampuan menentukan arah pemikirannya sendiri.



Pemikir politik Islam, Taqiyuddin an-Nabhani, dalam Nizham al-Islam menegaskan bahwa ketika generasi dibentuk oleh kekuatan yang tidak berasaskan wahyu, maka masyarakat akan kehilangan syakhsiyyah islamiyyah (kepribadian Islam) dan akhirnya menjadi penumpang dalam peradaban dunia, bukan pengarahnya.



Dr. Ismail al-Faruqi dalam Islamization of Knowledge (1982) memperingatkan bahwa generasi muslim yang dibiarkan dididik oleh sistem nilai Barat akan kehilangan ruhul-ummah—jiwa peradaban Islam—yang tidak bisa digantikan oleh capaian teknologi. Kekhawatiran serupa disampaikan Mahathir Mohamad ketika membahas imperialisme teknologi dalam The New Asian Renaissance (1999): “Bangsa yang tidak menguasai ilmu dan nilai akan menjadi budak teknologi bangsa lain.” Hari ini, kata-kata itu bukan sekadar kutipan sejarah. Kita sedang menyaksikannya terjadi di depan mata.



Di Indonesia, PP TUNAS menunjukkan negara mulai sadar, tetapi responsnya masih teknokratis—padahal ancamannya bersifat ideologis. Regulasi usia tidak menyentuh akar persoalan: siapa yang memonopoli pikiran generasi muslim.



Ibn Taymiyyah dalam As-Siyâsah asy-Syar‘iyyah menetapkan bahwa salah satu fungsi kepemimpinan adalah saddu dzari‘ah—menutup semua pintu kerusakan yang dapat menghancurkan agama, akal, dan generasi. Jika kerusakan itu hadir dalam bentuk algoritma global yang memprogram perilaku anak-anak, maka negara wajib mengambil sikap politik, bukan sekadar kebijakan administratif.



Karena itu, Islam tidak berhenti pada proteksi, tetapi mengambil alih kendali pembentukan manusia. Abdullah bin Bayyah dalam Turuq al-Wushul menekankan takaful ijtima‘i—kesadaran kolektif negara, ulama, dan masyarakat untuk bersama-sama mengarahkan umat, bukan menyerahkannya pada mekanisme pasar.



Bahkan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, dalam Konferensi Teknologi Nasional Turki (2023) menegaskan bahwa kolonialisme digital adalah ancaman masa depan umat Islam dan negara harus “mengambil kembali kedaulatan data dan kedaulatan kesadaran generasi”.



Semua pandangan ini bertemu pada satu garis tegas, yakni generasi muslim tidak boleh dibentuk oleh kekuatan yang tidak memiliki komitmen kepada Allah Swt. Inilah inti dari al-imamah ḥirâsat ad-dîn wa siyâsat ad-dunyâ—negara bukan hanya penjaga urusan dunia, tetapi penjaga arah peradaban. Jika negara hanya menjadi operator regulasi, maka umat kehilangan pondasi politiknya sekaligus mempertaruhkan potensi generasinya. 



Strategi politik Islam bersifat struktural dan menyeluruh. Untuk menutup bahaya pelemahan potensi generasi muslim, langkah yang mungkin diambil meliputi: 1) mengambil kembali kedaulatan informasi sebagai bagian dari maqashid hifzh al-‘aql dan hifzh al-nasl; 2) membangun platform digital berasaskan nilai Islam—bukan sekadar aplikasi, tetapi "sistem nilai"; 3) menjadikan pendidikan digital sebagai arena pembentukan peradaban; 4) menghidupkan kembali poros negara–ulama–masyarakat; 5) menetapkan arah ideologis generasi agar tidak mudah dikendalikan kekuatan eksternal. 



Semua itu hanya mungkin terwujud melalui penerapan sistem hidup yang kâffah—berasas akidah Islam dan diatur oleh syariat secara menyeluruh melalui institusi politik yang menegakkan wahyu, yakni Khilafah. Sejarah telah membuktikan bahwa institusi ini mampu menjaga dan mengembangkan potensi generasi Islam hingga mereka tampil sebagai pelopor peradaban selama ratusan tahun tanpa cacat berarti.



Generasi muslim hanya bisa menjadi pelopor perubahan jika negara dan umat berani merebut kembali ruang pembentukan manusia. Tanpa keberanian ideologis itu, peradaban ini bukan sedang menuju kelemahan—tetapi sedang menyerahkan potensi besar generasi Islam dan masa depannya kepada algoritma yang tak mengenal Tuhan. Wallahualam bissawab.[]




Posting Komentar

0 Komentar