Tawuran, Antara Sistem Pendidikan dan Jihad

 



Rini Sarah

 

#Remaja — Tawuran adalah masalah klasik dunia pendidikan. Menurut ringkasan AI, tawuran pertama yang diliput media terjadi pada tahun 1960-an. Beritanya bisa dicek di harian Kompas dengan judul “Bentrokan Peladjar Berdarah” yang terbit pada 29 Juni 1968. Bayangkan hingga saat ini, tawuran tetap saja ada. Bahkan makin menggila.

 

Yups, tawuran ibarat idiom populer di kalangan muda, “makin ke sini, makin ke sana”. Makin hari makin parah kondisinya. Dulu praktiknya hanya dengan tangan kosong atau  senjata tercanggihnya adalah tongkat. Sekarang, jenis-jenis senjata makin beragam, mengerikan, dan mematikan. Pelakunya juga makin ke sini makin muda usia. Terbaru, tawuran sudah merambah ke anak SD! Seperti yang terjadi di Depok. (news.detik.com, 12/05/2025)

 

Sistem Pendidikan

 

Tawuran takberujung dan dini usia, ini tentu saja mengundang berbagai analisis pihak terkait, seperti Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi yang akrab disapa Kak Seto. Menurut Kak Seto, tawuran sejak dini ini sebagai alarm bagi sistem pendidikan Indonesia dan menjadi bukti bahwa ada yang keliru dalam dunia pendidikan kita, hingga perlu adanya evaluasi. (kompas.com, 13/05/2025)

 

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, juga berpendapat senada dengan Kak Seto. Beliau menyampaikan kalau anak tawuran itu bukan pelaku kriminal, melainkan mereka korban dari sistem. (tempo.co, 17/05/2025)

 

Sistem pendidikan beserta sistem kehidupan lainnya yang dipakai di Indonesia saat ini memang sudah tidak bisa diselamatkan. Semua sistem kehidupan yang berbasis pemisahan agama dari kehidupan yang diterapkan negeri ini sekarang melahirkan manusia yang tidak berperikemanusiaan, seperti contoh di atas. Fitrah manusia itu saling mengasihi, bukan saling menyakiti apalagi saling membunuh.

 

Ketika agama dipisahkan dari kehidupan memang membuat manusia lepas kendali. Agama yang hanya diberi ruang di masjid dan tempat ibadah saja tidak akan mampu membendung derasnya hawa nafsu manusia untuk berbuat nista. Setan ada di mana-mana. Perlu diketahui juga bahwa manusia lebih banyak menghabiskan hidupnya di luar masjid dan rumah ibadah. Bahkan, saat ini karena agama diberi ruang minimalis dalam kehidupan, akibatnya orang makin menganggap agama tidak penting bahkan tidak mempercayainya. Tanpa agama, makin ugal-ugalanlah perilaku manusia.

 

Belajar dari sini, kita sebagai manusia yang beriman dan berakal harus sepakat bahwa seluruh sendi kehidupan termasuk pendidikan harus diselimuti oleh agama, baik dari segi pemikiran, pelaksanaan, dan politiknya.

 

Dalam sistem pendidikan Islam, manusia akan dicetak menjadi hamba yang paham akan tujuan dia diciptakan. Allah menciptakan manusia untuk beribadah (QS Adzariyat: 56) dan menjadi khalifah di muka bumi (QS al-Baqarah: 30). Dalam hal ini manusia akan dibentuk sebagai manusia yang beriman dengan ketakwaan tinggi, hingga berkepribadian Islam yang agung. Selain itu, akan diajari ilmu sains dan teknologi guna mempermudah manusia untuk melaksanakan seluruh syariat Islam. Semua proses pendidikan ini akan didapatkan seluruh lapisan masyarakat dengan gratis.

 

Tak heran ketika sistem Islam diterapkan, lahir manusia-manusia salih dan juga ahli dalam sains dan teknologi. Sebut saja generasi para sahabat Nabi atau ulama-ulama Islam terkenal di abad-abad setelahnya, seperti al-Khawarijmi, al-Kindi, Abas ibnu Firnas, dan lain sebagainya. Mereka generasi yang menghabiskan waktunya untuk hal positif bukan terlibat tawuran.

 

Jihad

 

Masa muda memang masa yang penuh gelora. Jiwa muda memang membutuhkan penyaluran bagi energi dan adrenalinnya. Selain dicetak menjadi takwa dan ahli dalam berbagai disiplin ilmu, dalam Islam ada saluran lain yang benar bagi remaja dalam menyalurkan hasrat bertarungnya, yaitu dengan syariat jihad.

 

Jihad adalah amalan istimewa. Upaya mengaitkan jihad dengan terorisme adalah penistaan bagi syariat-Nya. Jihad mempunyai posisi tertinggi dalam ajaran-Nya, sebagaimana tersurat dalam hadis Rasulullah saw., “Asas suatu perkara adalah Islam. Tiangnya adalah salat. Puncak perkaranya adalah jihad.” (HR Tirmidzi)

 

Pelajaran tentang jihad yang benar sesuai dengan syariat Islam akan ditanamkan dalam keluarga maupun di sekolah. Ia termasuk ke dalam kurikulum dalam sistem pendidikan Islam. Anak akan dipahamkan kenapa mereka harus berjihad dan bagaimana syariat jihad yang benar dari mulai urgensi hingga fikih sesuai tuntunan Nabi. Hingga anak memahami realitas jihad itu seperti apa.

 

Siapa musuh yang harus diserang, lalu atas perintah siapa jihad itu dikumandangkan, lalu paham juga akan adab-adabnya, dan usia berapa sudah bisa ikut berjihad. Dalam sirah Nabawiah dijelaskan Rasulullah telah membolehkan remaja dengan usia 15 tahun untuk ikut serta berjihad. Bahkan, dalam masa setelahnya, Muhammad bin Abdul Qasim menjadi Panglima Penakluk India pada usia 17 tahun.

 

Inilah gambaran kecil terkait Islam yang bisa menyelesaikan masalah tawuran. Gambaran detailnya bisa dipelajari lebih lanjut dalam tulisan-tulisan para ulama salaf maupun kontemporer. Gambaran real-nya, tentu saja perlu upaya bersama untuk menegakkan dulu institusi yang akan menerapkan sistem Islam secara kafah termasuk sistem pendidikannya. Ini perlu upaya penyadaran bagi umat, prosesnya adalah dakwah kepada Islam kafah. Mau terlibat di dalamnya? Harus!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar