TNI Masuk Kampus: Normalisasi Kekuasaan, Bungkam Suara Mahasiswa

 



Azizah Retnowati

 

#Analisis — Dunia pendidikan kembali dibuat resah oleh wacana keterlibatan TNI dalam lingkungan kampus. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Brian Yuliarto menyatakan bahwa kehadiran TNI dalam kegiatan akademik bisa saja terjadi dalam konteks riset dan kerja sama pendidikan (Kompas.com, 24/04/2025).

Pernyataan ini muncul di tengah proses revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang memperluas peran militer aktif ke wilayah sipil, termasuk perguruan tinggi. Artinya, keterlibatan militer di kampus bisa dilegalkan.

Meski Mendikbudristek menegaskan bahwa TNI tidak akan mengatur kampus melainkan sebatas mitra akademik, publik menilai narasi ini terlalu normatif. Sejarah mencatat bahwa setiap keterlibatan militer di ruang sipil, termasuk kampus, cenderung berujung pada represi dan pembungkaman suara kritis. Aliansi mahasiswa dan akademisi pun angkat suara. Mereka khawatir, ini merupakan sinyal kembalinya kontrol negara atas gerakan intelektual kampus, sebagaimana terjadi di masa Orde Baru.

 

Bukan Sekadar Keamanan, Melainkan Sistem Penjajahan

Jika ditelaah lebih dalam, masuknya TNI ke kampus bukan sekadar isu keamanan atau akademik, melainkan bagian dari struktur sistemik dalam negara neoliberal-kapitalis yang kini menguasai Indonesia. Dalam sistem ini, negara tak lagi berperan sebagai pelindung rakyat, melainkan fasilitator bagi investor. Stabilitas nasional dijaga bukan demi rakyat, tetapi demi kenyamanan bisnis. Dalam konteks ini, TNI menjadi alat kekuasaan untuk menjaga agar kepentingan modal tidak terusiktermasuk oleh suara-suara mahasiswa.

Dengan kata lain, kemitraan akademik hanyalah kedok dari strategi mempertahankan sistem anti-kritik. Seperti dikatakan Analis Politik Arif Susanto, demokrasi Indonesia kini dikendalikan oleh oligarki yang melihat oposisi sebagai ancaman. Dalam wawancaranya dengan Tempo, ia menyoroti kecenderungan negara yang makin otoriter, yaitu berpotensi membungkam suara-suara kritis dan mengaburkan batas antara kepentingan negara dan kepentingan penguasa (Tempo, 2024).

Padahal, kampus adalah ruang lahirnya kesadaran politik mahasiswa dan gagasan tandingan terhadap kekuasaan zalim. Ketika kampus dibungkam melalui pendekatan militeristik, sistem ini menjadi kebal terhadap koreksi rakyat. Ini memperkuat dominasi kapitalisme global di Indonesiapenjajahan gaya baru yang tidak hadir lewat senjata, tetapi melalui sistem ekonomi-politik yang ditopang kekuatan militer lokal.

 

Rekam Jejak Pelanggaran TNI dan Militerisasi Sipil

Laporan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) tahun 2023 mencatat 43 peristiwa pelibatan TNI dalam urusan sipil seperti keamanan wilayah, penggusuran, hingga proyek infrastruktur. Sekitar 60% dari kasus tersebut menimbulkan intimidasi atau kekerasan terhadap warga sipil (Catatan Akhir Tahun 2023, KontraS).

Di kampus, kasus mencolok terjadi pada 2018 saat diskusi mahasiswa Universitas Khairun Ternate dibubarkan paksa oleh aparat berseragam. LBH Jakarta mencatat, antara 20172022 terjadi 15 insiden intimidasi terhadap kegiatan mahasiswa yang kritis terhadap negara (LBH Jakarta, 2022).

Militerisasi sipil juga tergambar dari kebijakan anggaran. APBN 2025 mencatat anggaran pertahanan sebesar Rp135,5 triliun—naik 10,3% dari tahun sebelumnya. Sebagian besar peningkatan ini digunakan untuk modernisasi dan ekspansi peran TNI ke luar fungsi pertahanan, termasuk penguatan peran teritorial yang membuka jalan ke wilayah sipil. (Nota Keuangan 2025, Kemenkeu.go.id).

Masuknya TNI ke proyek-proyek sipil, termasuk pendidikan, menunjukkan pergeseran fungsi militer dari penjaga kedaulatan menjadi alat stabilisasi politik domestik. Tentu, hal ini bertentangan dengan prinsip profesionalisme militer dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan.

 

Perspektif Islam: Pendidikan dan Militer dalam Khilafah

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam karya-karyanya seperti Nizham al-Islam, Syakhsiyah Islamiyah, dan Muqaddimah ad-Dustur menegaskan bahwa Islam membangun peradaban dengan pendidikan yang lurus dan keamanan yang dijaga militer secara syar’i.

Dalam Syakhsiyah Islamiyah Jilid II, hal. 251, beliau menyatakan:

"Tujuan dari pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam, yakni pola pikir dan pola jiwa berdasarkan akidah Islam."

Pendidikan dalam Islam bukan sekadar transmisi ilmu, tapi pembentukan generasi beriman dan bertakwa yang berpikir dan bersikap sesuai syariat. Ini sangat berbeda dengan sistem sekuler saat ini yang menjadikan kampus sebagai pabrik tenaga kerja untuk kepentingan pasar.

Sementara itu, militer dalam Islam memiliki tugas khusus. Dalam Nizham al-Islam, hal. 83, disebutkan:

"Tentara dalam Daulah Islam bertugas melindungi negara dari serangan luar dan menyebarkan Islam melalui jihad."

Militer tidak diperkenankan masuk ke wilayah sipil, termasuk kampus, kecuali dalam konteks pertahanan sesuai penetapan khalifah. Dalam Muqaddimah ad-Dustur, pasal 72 ditegaskan:

"Tentara tidak boleh melakukan aktivitas kecuali yang berkaitan dengan tugas-tugas militer yang telah ditetapkan oleh Khalifah sesuai dengan syariat."

Realitas hari ini menunjukkan bahwa demokrasi yang menjanjikan kebebasan justru menjadi alat represi ketika kebebasan itu mengancam sistem yang menopangnya. Maka wajar jika mahasiswa yang menyuarakan kebenaran dianggap musuh stabilitas dan menjadi target pembungkaman. Demokrasi terbukti gagal menciptakan masyarakat adilia justru memperkuat penjajahan gaya baru.

 

Solusi Hakiki: Ganti Sistem, Bukan Tambal Lubang

Wacana “TNI masuk kampus” bukan persoalan teknis, tapi persoalan sistem. Selama negeri ini tunduk pada demokrasi-sekuler dan neoliberalisme global, pendekatan represif semacam ini akan terus berulang. Menurut an-Nabhani, perubahan hakiki hanya bisa terjadi dengan mengganti sistem rusak ini dengan sistem Islam: Khilafah Islamiyah.

Dalam Khilafah, pendidikan bebas dari intervensi militer dan dikembalikan pada tujuannya—membentuk generasi beriman dan bertakwa yang mampu mengubah masyarakat. Militer pun dikembalikan ke fungsinya sebagai pelindung umat, bukan penjaga kepentingan modal. Dalam Nizham al-Islam, hal. 102, disebutkan:

"Negara wajib memberikan pendidikan secara cuma-cuma kepada setiap individu dan menjadikannya sebagai tanggung jawab negara."

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Imam (Khalifah) adalah perisai, tempat orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim)

Khilafah Islamiyah adalah satu-satunya sistem yang mampu menyatukan umat, mengatur militer secara syar’i, dan mengembalikan kampus sebagai pusat ilmu dan perubahan.

Saatnya umat Islam, terutama generasi muda dan mahasiswa, menyadari bahwa ancaman sejati bukan sekadar militer di kampus, tapi sistem kapitalisme yang melahirkan kebijakan itu. Demokrasi, neoliberalisme, dan sekularisme telah terbukti gagal membawa keadilan. Sesungguhnya, yang dibutuhkan umat hari ini adalah perubahan sistemik—mengganti sistem rusak ini dengan Islam kafah dalam naungan Khilafah. Wallahualam.[]

 

Posting Komentar

0 Komentar