Rini Sarah
#Remaja — Sebagian orang pasti tahu tentang pola diet Intermittent Fasting yang disingkat IF. Bagi yang belum tahu, IF ini adalah pola makan yang mengatur waktu makan dan puasa, bukan jenis makanannya.
Praktiknya, kita akan membatasi waktu makan kita dalam periode tertentu. Misalnya, untuk pemula disarankan proporsinya 16:8. Artinya, 16 jam kita puasa dan 8 jam kita bisa makan apa saja. Selama puasa, kita hanya diperbolehkan minum air putih, teh atau kopi tanpa gula. Pokoknya, minuman yang tidak ada kalorinya.
Pembagian jam real-nya ya silakan atur sesuai kebutuhan. Mau dari jam 8 malam puasa hingga jam 12 siang, lalu buka jam 12 hingga 8 malam, silakan. Mau beda dari itu juga mungkin tidak apa-apa. Asal waktu makan atau istilahnya—jendela makannya tetap 8 jam dan tidak ganggu istirahat. Nah, makin pro seseorang dalam IF, maka jendela makannya makin kecil. Kaya Om Deddy Corbuzier yang mengaku bisa tahan puasa hingga tiga hari.
Saat ini, ada lho saudara-saudara kita yang jendela makannya sangat sedikit. Mereka bisa dikatakan mengungguli Om Deddy dalam perkara puasa. Mereka adalah saudara-saudara kita di Gaza. Di Gaza, orang-orang memang berpuasa dalam waktu buka yang tidak pasti. Karena mereka memang bukan sedang menjalankan IF itu sendiri. Mereka sedang kelaparan. Mereka sedang dilanda catastrophic famine.
Malangnya, bencana kelaparan ini bukan datang secara alamiah. Tapi, ia datang karena diciptakan oleh entitas biadab. Entitas Yahudi dan AS di belakangnya— sengaja melaparkan warga Gaza sebagai strategi perang mereka.
Kalau kita bicara korban dan damage yang dihasilkan, tidak bisalah kita ber-word-word lagi. Korban meninggal karena malnutrisi banyak sekali, terutama bayi dan anak-anak. Tetapi, dalam kondisi lebih dari ngeri seperti itu, kita masih bisa melihat anomali. Dalam kondisi tak ada harapan kecuali mati, mereka tetap berani. Berani menghadapi dan berjuang mencari makanan tanpa terpikir sedikit pun untuk bunuh diri.
Padahal, mencari makan itu konsekuensinya, mati. Karena, pembagian makanan pun sejatinya adalah death trap dalam rangka genosida. Lalu, apa yang membuat mereka tetap berani?
Grow with Iman
Keberanian itu bukanlah given alias sesuatu yang terinstal dari pabriknya. Ia harus ditumbuhkan dan dipelihara. Keberanian atau syaja'ah dalam bahasa Arab, hanya akan tumbuh kuat dan kokoh jika dilandasi oleh keimanan. Keimanan pada Zat yang Maha segalanya. Hingga kita akan merasa aman akan perlindungan dan pertolongan-Nya.
Satu hal yang perlu kita ketahui, hati manusia itu lemah. Dia perlu sandaran, dia pun perlu pegangan. Sandaran dan pegangan yang kuat itu adalah keimanan kepada Allah Swt..
Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surah Al-Ikhlas bahwa diri-Nya adalah Zat yang Mahakuat dan satu-satunya yang layak menjadi sandaran. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia." (Surah Al-Ikhlas [112] Ayat 1–4)
Keyakinan pada keberadaan Allah dan seluruh sifat-Nya membuat manusia menjadi berani dan tawakal. Hingga dia tidak pernah takut, sedih, cemas akan sesuatu. Karena kita yakin ada penolong dan segala yang dicemaskan di dunia ini tak akan pernah terjadi jika tidak Allah perkenankan. Sabda Rasulullah saw., “...Demikian pula sebaliknya apabila semua manusia bersatu untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah Allah takdirkan atas dirimu. Sesungguhnya pena takdir telah diangkat dan lembaran takdir pun telah mengering.” (Hadis Riwayat Tirmidzi)
Inilah yang tertancap kuat dalam benak saudara kita di Gaza. Tak heran dengan kondisi segenting itu jiwa-jiwa syaja'ahnya tidak pernah padam.
Glow with Syariat
Talent-talent berani ini tentu akan makin bersinar jika mereka ada dalam lingkungan kondusif bagi pertumbuhannya. Lingkungan kondusif itu hanya akan ada dalam penerapan syariat Islam oleh negara Islam bernama Khilafah.
Dalam penerapan syariat oleh negara, keimanan sebagai modal awal bagi keberanian senantiasa dijaga. Karena dia juga dijadikan landasan bagi setiap aturan yang diterapkan oleh negara. Hingga ia akan hidup dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam penerapan syariat, keimanan juga akan senantiasa dijaga untuk tumbuh dan berkembang. Negara akan menumbuhkannya dalam proses pendidikan. Karena sistem pendidikan yang diterapkan senantiasa mengintegrasikan keimanan. Lalu, orang yang mau melepaskan keimanan tentu akan dapat hukuman. Insya Allah, sikap wahn alias cinta dunia dan takut mati tidak akan menghampiri.
Dalam penerapan syariat Islam kafah juga tak akan hadir bibit-bibit kecemasan dan kepengecutan. Tidak akan ada kekhawatiran akan jaminan kehidupan, misal takut tidak makan, sekolah, atau yang lainnya. Hingga tidak akan ada orang yang insecure lalu takut untuk menghadapi kehidupan.
Selain itu, dalam penerapan syariat Islam kafah juga akan menghadirkan para satria. Para satria gagah berani tetapi tidak sadis dan menghalalkan segala macam cara di medan jihad. Para satria ini tentu saja akan makin disegani ketika persenjataannya pun mumpuni. Terbayang, peralatan Hamas yang “seadanya” saja sudah bikin ketar ketir Isriwil, bagaimana kalau persenjataannya lengkap dan canggih. Pastilah musuh Allah itu akan tergetar hatinya.
Inilah sekelumit tentang keberanian, it will grow with iman dan glow with syariat.[]
0 Komentar